*
Tabarruk ialah mengharapkan keberkatan daripada Allah dengan sesuatu yang mulia.
Ulama Mazhab Syafie mengatakan hukum tabarruk adalah HARUS (DIBENARKAN).
Disebut dalam Musnad Imam Ahmad, mafhumnya : "Daripada Abdullah, maula Asma bin Abu Bakar berkata : Asma mengeluarkan kepadaku sehelai pakaian ada dua lubang yang berjahit. Lalu Asma berkata : Ini adalah pakaian Rasulullah shallaAllahu `alaihi wa sallam. Ia dahulu pernah disimpan oleh Aisyah, ketika Aisyah wafat, aku menyimpannya. Kami akan mencelupkannya ke dalam air untuk menjadi ubat kepada orang yang sakit di kalangan kami."
Imam Khatib al-Baghdadi, dalam karya beliau yang masyhur "Tarikh Baghdad" pada jilid 1 halaman 123, menulis kisah Imam asy-Syafi`i RA berkata: " Sesungguhnya aku bertabarruk dengan Abu Hanifah dan aku menziarahi kubur beliau setiap hari. Apabila aku mempunyai suatu hajat keperluan, aku solat dua rakaat, kemudian pergi ke kubur Abu Hanifah dan berdoa kepada Allah di sisinya, maka dalam masa yang singkat sahaja hajat tersebut ditunaikan. "
Sumber:
http://nyantrionlen.blogspot.com/2013/05/imam-syafii-tabaruk-dengan-imam-ahmad.html
http://bahrusshofa.blogspot.com/2011/11/tawassul-imam-asy-syafii-khatib-al.html
http://anakbukitgantang.blogspot.com/2013/07/tabarruq-bila-wardina-safiyyah-berfatwa.html
http://jomfaham.blogspot.com/2013/07/isu-air-minum-yang-dicelup-rambut.html
Hukum Tawassul
*
Al-Imam as-Sajjad Zain al-‘Abidin ‘Ali ibn al-Husain ibn ‘Ali ibn Abi Thalib (w 94 H) berkata:
"أنْتَ اللهُ الّذِيْ لاَ يَحْوِيْكَ مَكَانٌ" (رواه الحافظ الزبيدي)
"Engkaulah ya Allah yang tidak diliputi oleh tempat". (Diriwayatkan oleh al-Hafizh az-Zabidi dalam Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarh Ihya’ ‘Ulumiddin dengan rangkaian sanad muttashil mutasalsil yang kesemua perawinya adalah Ahl al-Bayt; keturunan Rasulullah).
Al-Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari (w 324 H) -Semoga Allah meridhainya- berkata:
"إنَّ اللهَ لاَ مَكَانَ لَهُ " (رواه البيهقي في الأسماء والصفات)
"Sesungguhnya Allah ada tanpa tempat" (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam kitab al-Asma Wa ash-Shifat).
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda: “Allah ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan) dan belum ada sesuatu pun selain-Nya”. (H.R. al Bukhari).
Makna hadits di atas, bahwa Allah ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan), tidak ada sesuatu (selain-Nya) bersama-Nya. Pada azal belum ada angin, cahaya, kegelapan, ‘Arsy, langit, manusia, jin, malaikat, waktu, tempat dan arah. Maka bererti Allah ada sebelum terciptanya tempat dan arah, maka Allah tidak memerlukan kepada keduanya dan Allah tidak berubah dari azal, yakni tetap ada tanpa tempat dan arah, kerana berubah adalah ciri dari sesuatu yang baru (makhluk).
Abi Razin radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku berkata, wahai Rasulullah, di manakah Tuhan kita sebelum menciptakan makhluk-Nya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Allah ada tanpa sesuatu apa pun yang menyertainya. Di atasnya tidak ada sesuatu dan di bawahnya tidak ada sesuatu. Lalu Allah menciptakan Arasy di atas air.” (Sunan al-Tirmidzi, [3109]).
Sayyidina Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu mengatakan yang maknanya: “Allah subhanahu wa ta’ala ada sebelum adanya tempat. Dan keberadaan Allah sekarang, sama seperti sebelum adanya tempat.” (diriwayatkan oleh Abu Manshur al Baghdadi dalam kitab al Farq bayna al Firaq, hal. 256).
Al Imam Abu Hanifah dalam kitabnya al Fiqh al Absath berkata:
“Allah ta’ala ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan) dan belum ada tempat, Allah ada sebelum menciptakan makhluk, Allah ada sebelum ada tempat, makhluk dan sesuatu dan Allah pencipta segala sesuatu”.
Al Imam Fakhruddin ibn ‘Asakir (W. 620 H) dalam risalah aqidahnya mengatakan : “Allah ada sebelum ciptaan, tidak ada bagi-Nya sebelum dan sesudah, atas dan bawah, kanan dan kiri, depan dan belakang, keseluruhan dan bagian-bagian, tidak boleh dikatakan “Bila ada-Nya ?”, “Di mana Dia ?” atau “Bagaimana Dia ?”, Dia ada tanpa tempat”.
Imam asy-Syafi’i Muhammad ibn Idris (w 204 H), seorang ulama Salaf terkemuka perintis madzhab Syafi’i, berkata: “Sesungguhnya Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Kemudian Dia menciptakan tempat, dan Dia tetap dengan sifat-sifat-Nya yang Azali sebelum Dia menciptakan tempat tanpa tempat. Tidak boleh bagi-Nya berubah, baik pada Dzat maupun pada sifat-sifat-Nya” (az-Zabidi, Ithâf as-Sâdah al-Muttaqîn…, j. 2, h. 24).
Imam Abu Al-Hasan Al-Asy’ari r.a. (324 H) berkata: Allah s.w.t. wujud tanpa bertempat. Dia menciptakan Arasy dan Kursi tanpa memerlukan kepada tempat. (tabyiin kazbul muftari: 150)