*
Ada sebahagian orang yang menentang pengajian sifat 20 sedangkan ianya telah dipelajari sejak berpuluh tahun bahkan beratus tahun oleh umat islam. Mereka yang menentang pengajian tersebut dengan pelbagai alasan yang sangat lemah sekali. Mereka mengikuti hawa nafsu, dan bertaklid buta dengan orang yang juga tidak mempelajari sifat 20 malah mereka inilah pula yang menyesatkan sifat 20.
Sebahagian dari alasan mereka yang menentang sifat 20 adalah sebagai berikut :
1 - Pengajian sifat 20 melahirkan orang-orang yang berakidahkan lemah, sebab diambil dari filsafah Yunani.
Kita jawab: Hal ini merupakan fitnah yang besar. Kegoncangan dan kelamahan aqidah generasi zaman sekarang karena mereka tidak belajar aqidah yang sebenarnya termasuk di dalamnya sifat 20. Kalau kita lihat realiti yang ada bahkan ilmu sifat 20 inilah yang telah menyelamatkan umat islam di Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, negeri Fatani ( Selatan Thailand ) dari usaha pemurtadan penjajah-penjajah asing.
Negara-negara ini telah dijajah oleh penjajah-penjajah kafir yang ingin meluaskan kekuasaan dan agama mereka, tetapi umat islam di Nusantara tetap berpegang dengan aqidah mereka. Barang diingat pengajian tauhid yang tiga ( Tauhid versi Wahabi ) belum bergembang di Nusantara ketika itu. Jadi tauhid apakah yang menjaga umat dari bahaya murtad ? Sudah tentulah jawapannya ialah tauhid sifat dua puluh.
2 - Aqidah sifat 20 merupakan sesuatu yang sangat berat dikaji dan menyusahkan orang islam, sehingga ada tuduhan yg menyebut makcik-makcik ( Ibu-Ibu ) di Langkawi ( pulau di Malaysia ) yang tak laksanakan shalat tujuh puluh tahun lamanya karena tak faham sifat 20, sebab gurunya kata kalau tak hafal sifat dua puluh shalat tak sah.
Kita jawab : Sifat dua puluh merupakan sistem pengenalan terhadap Allah s.w.t yang sangat mudah sekali, karena menghafalnya lebih mudah dari mengahafal al-Qur`an. Para sahabat Rasul telah mengafal al-Qur`an, jadi di dalam al-Qur`an sendiri telah disebut sifat-sifat Allah, dengan makna lain mereka telah menghafal sifat-sifat Allah melalui al-Qur`an. Jadi jika umat islam disuruh untuk mengahafal sifat 20 dengan dalil Naql ( al-Qur`an dan Hadis ) dan akal itu lebih mudah dari pada menghafal seluruh al-Qur`an.
Sifat-sifat Allah terlalu banyak sekali, baik disebutkan didalam al-Qur`an maupun didalam hadis Rasul. Jadi jika umat islam disuruh untuk menghafal seluruh sifat -sifat yang ada, ini merupakan sesuatu yang memberatkan bagi umat islam. Sedangkan pengajian sifat dua puluh memudahkan umat islam dengan menyebutkan sifat-sifat yang paling berpengaruh dari seluruh sifat-sifat yang lainnya.
Jika sifat 20 ini tidak ada, maka sifat-sifat yang lain pun tidak akan ada pula, sebab itulah sifat-sifat Allah yang lain itu tergantng kepada sifat 20, dengan makna jika sifat wujud Allah tidak ada maka sifat pengampun, pemurah, penyayang dan lain-lainnya juga tidak ada. Jika sifat qidam Allah tidak ada maka sifat menciptakan, memberi, kuat dan lain-lainnya juga tidak akan ada.
Sebab itulah sifat dua puluh ini sangat perlu sekali di pelajari, karena terdiri dari inti sari aqidah yang terdapat di al-Qur`an dan al-Hadis.
Adapun cerita kononnya ada seorang perempuan tidak shalat selama tujuh puluh tahun disebabkan tidak hafal sifat 20, maka ini cerita yang diragui dan diada-adakan
Allah berfirman : إن جاء كم فاسق بنبإ فتبينوا
Artinya : Jika datang kepada kamu orang fasikyang membawa kabar hendaklah teliti dulu.
Maksudnya cerita yang dibawa oleh orang tersebut perlu diteliti benar tidaknya, dari sebanyak perjalanan saya dan sepengetahuan saya tidak pernah ada orang tinggalkan shalat disebabkan mempelajari sifat 20, alasan di atas adalah cerita yg berlebihan. Jika mahu bercerita ceritalah perkara yang masuk akal dan yang benar, sebab lidah itu akan di pertanyakkan Allah di hari akhirat.
Saya akan sebutkan sebahagian pusat pendidian yang menjadikan sisten sifat 20 sebagai dasar didalam tauhid mereka.
1 - al-Azhar as-Syarif Mesir : Dari peringkat Menengah, atas dan perkuliyahan sifat dua puluh di pelajari di lembaga pendidikan yang tertua ini, mengeluarkan setiap tahunnya ribuan pelajar dan mahasiswa tetapi mereka tetap shalat walaupun mengaji sifat 20.
2 - Madrasah Solatiyah : Merupakan pusat pengajian yang pertma sekali di bina di Makkah menjadikan dasar pengajiannya sifat 20, mereka semua shalat dengan bagus walapun mengaji sifat 20.
3 - Madrasah Mustafawiyah Purba Baru Mandailing Sumatra Utara : merupakan pusat pendidikan yang yang sanat terkenal di Indonesia, mengeluarkan setiap tahunnya lebih dari tujuh ratusan pelajar, mereka semua shalat walaupun mempelajari sifat 20 sama ada yang sudah hapal atau belum.
Pesantren Lirboyo Kediri, Pesantren Tebu Ireng, pondok Lubuk Tapah ( Malaysia ), pondok Bakriyyah Pasir Putih dan banyak lagi pondok pesantren yang mempelajari sifat dua puluh di Nusantara.
Bahkan orang-orang yang mempelajari sistem tauhid tiga ( versi Wahabi ) kebanyakkannya terjatuh kepada aqidah mujassimah yang menyerupai Allah dengan makhluknya, sebab itulah Wahabi bersusah payah untuk menghilangkan tauhid sifat dua puluh, selama masih ada di bumi ini orang yang mempelajari sifat dua puluh selama itulah Wahabi yang mengangap diri mereka salafi golongan mujassimah Musyabbihah.
3 - Sifat dua puluh tidak ada pada zaman Rasulullah s.a.w dan para sahabat-sahabat yang mulia, tetapi ada setelah abad-abad yang mulia.
Kita jawab : Tidak adanya sifat dua puluh pada zaman Rasul dan sahabat bukanlah sebagai dalil untuk menolak pengajian sifat dua puluh, sebab isi dan kandungan sifat dua puluh sudah ada pada zaman Nabi dan sahabat, misalnya sifat wujud Allah, Qidam, Baqa, Mukhalafatu Lil Hawadis, Qiyamuhu Binnafsih, Wahdaniyyah, Qudrat, Iradat, Ilmu, Hayah, kalam adalah sifat - sifat yang di kenal oleh Nabi dan para sahabat-sahabatnya.
Barangsiapa yang mengingkari bahwa Nabi mengetahui sifat-sifat ini berarti aqidahnya telah jauh dari aqidah islam, bagaimana boleh Nabi mengingkari Wujudnya Allah, ilmunya Allah, Baqa`nya Allah, Kalamnya Allah, sifat-sifat ini telah termuat didalam al-Qur`an dan Hadis Nabi.
Seperti Rukun shalat, Nabi tidak pernah katakan berapa rukun shalat, berapa sunnah-sunnah shalat, berapa syarat-syarat shalat, tetapi melalui al-Qur`an dan Hadis para ulama telah menyimpulkan dan menetapkan rukun-rukun shalat dari mulai bediri sampai salam, apakah perbuatan ulama-ulama tersebut suatu yang bid`ah, hal ini tidak bid`ah karena isi dan kandungannya dari al-Qur`an dan as-Sunnah.
Saya akan perlihatkan kepada pembaca seluruh sifat-sifat yang telah ulama sebutkan sebagai sifat yang paling terpenting sekali Allah miliki, jika Allah tidak bersifat seperti itu maka Allah tidak pantas menjadi tuhan, tetapi karena dalil Naqli dan akal telah menyebutkan Allah bersifat dengan sifat dua puluh maka sah-lah Allah sebagai tuhan yang di sembah.
Berikut sifat-sifat yang sangat penting sekali :
1 - Wujud
Sifat Wujud ini mesti ada pada tuhan yang di sembah jika tidak ada maka dia tidak berhak dianggap tuhan, sementara dalil yang di petik darial-Qur`an adalah :
أفرءيتم ما تمنون ( 58 ) وأنتم تخلقونه أم نحن الخالقون ( 59 ) نحن قدرنا بينكم الموت وما نحن بمسبوقين ( 60 ).الواقعة 58-60
Artinya : Tidakkah kamu memikirkan keadaan air mani yang kamu pancarkan ( ke dalam rahim )? ( 58 ) Adakah kamu yang menciptakannya atau kami yang menciptakannya? ( 59 ) Kamilah yang menentukan kematian diantara kamu, dan Kami tidak sekali-kali dapat dikalahkan atau dilemahkan ( 60 ).
2 - Qidam
Allah s.w.t bersifatkan qadim maksudnya wujud Allah s.w.t tidak didahuli oleh tiada, jika sesuatu didahului oleh tiada maka sesuatu itu tidak boleh disebut tuhan.
Dalilnya :هو الأول وهو الآخر
Artinya : Dia-lah yang awal dan yang akhir ( al-Hadid 3 ).
Sifat ini banyak dikritik dari kalangan wahabi, mereka menganggap bahwa qadim bukan sifat Allah karena, terdapat di dalam al-Qur`an.
Tidak semestinya jika al-Qur`an tidak menggunakannya untuk sifat Allah berarti tidak boleh gunakan, selama maksud sifat itu terdapat didalam al-Qur`an dan telah menjadi istilah yang di terima oleh ulama maka sifat itu boleh digunakan, sebab Imam Abu Hanifah, Imam Tohawi dan lain-lainnya juga menggunakan kalimat ini.
Sifat qidam juga telah di riwayatkan di Imam Ibnu Majah, Imam al-Hakim didalam Mustadrak, juga terdapat didalam sunan Ab Daud.
3 - Baqa :Wajib abgi Allah bersifat baqa` yang berarti tetap tidak diakhiri dengan kematian, Allah berfirman
ويبقى وجه ربك ذو الجلال والإكرام
Artinya : Dan kekallah Zat Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliyaan. ( ar-Rahman 27 ).
4 - مخالفة للحوادث
Sifat ini merupakan sefat yang paling penting di fahami oleh umat islam, bahwa segala sifat, perbuatan, dan prilaku yang baharu tidak boleh disamakan kepada Zat, sifat, perbuatan Allah, barang siapa yang mengingkari sifat ini maka dia telah keluar dari agama islam, jadi Allah tidak sama dengan makhluk-makhluknya.
Firman Allah : ليس كمثله شيئ وهو السميع البصير
Artinya : Tiada sesuatupun yang sebanding (serupa ) dengan ( Zat , sifat, perbuatan ),Nya dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Maha Melihat (as-Syura 11 ).
Dan selanjutnya seluruh sifat-sifat yng telah ulama-ulama as-Sya`irah kemukaan didalan sifat dua puluh memiliki dalil-dalil yang jelas didalam al-Qur`an.
4 - Sifat Allah tidak hanya dua puluh kenapa mesti di batasi
Kita jawab : Asya`irah ketika membincang sifat dua puluh TIDAK PERNAH membataskan sifat-sifat Allah, bahkan mereka mengakui sifat-sifat Allah banyak, setiap sifat-sifat sempurana dan mulya itu adalah sifat Allah. Orang yang mengatakan Asya`irah hanya mengajar sifat dua puluh saja membuktikan dia tidak pernah membaca buku-buku aqidah aliran ahlussunnah Asya`irah, cuba lihat sebahagian kitab-kitab Asya`irah :
a - Matan as-Sanusiyyah : Kitab ini dikarang oleh Imam Abu Abdillah Muhammad bin Muhammad bin Yusuf as-Sanusi yang meninggal dunia tahun 895 hijriyah, kitab ini merupakan kitab yang paling penting di kalangan Asya`irah, telah mendapat perhatian khusus dari kalangan ulama dan pelajar agama, sehingga menjadi rujukkan aqidah bagi Asya`irah sedunia.
Di dalamnya menyebutkan :
فمما يجب لمولانا جل وعز عشرون صفة
Artinya : Sebahagian sifat yang wajib bagi Allah yang Mulia dan Tinggi adalah dua puluh sifat ( Matan Sanusia beserta Hasyiahnya Imam Bajuri :16 , terbitan Musthafa Halabi , 1374 - 1955 )
b - ad-Duru al-Farid Fi Aqa`idi Ahli Tauhid karangan Imam Ahmad bin Sayyid Abdurrahman an-Nahrawi
فمما يجب لله تعالى عشرون صفة واجبة
Artinya : Dan sebahadian dari sifat yang wajib bagi Allah adalah dua puluh sifat yang wajib (ad-Duru al-Farid Fi Aqa`idi Ahli Tauhid karangan Imam Ahmad bin Sayyid Abdurrahman an-Nahrawi beserta syarahnya Fathu al-Majid karangan Syeikh Muhammad Nawawi bin Umar al-Banteni : 5 , terbitan Musthafa al-Halabi cetakan terakhir 1373 -1954 ).
Perlu di ketahui bahwa lafaz ( من ) pada kalimat ini bermaksud ( لتبعيض ) artinya menunjukkan sebahagian saja, dengan begitu sifat Allah banyak sekali, segala sifat yang patut, layak, dan mulia adalah sifat Allah, tetapi diantara sifat-sifat itu ada dua puluh sifat yang sangat perlu sekali di ketahui secara terperinci.
Oleh: Syeikh Muhammad Husni Ginting (Hafizahullah)
Sumber: https://www.facebook.com/permalink.php?story_fbid=1733772913555781&id=100007692669473
*
Jihad Lawan Nafsu
*
Kita telah pulang dari jihad yang kecil (peperangan) dan kita menuju kepada jihad yang lebih besar/paling besar. Para sahabat berkata: Apakah jihad yang paling besar? Rasulullah berkata: Jihad menentang hawa nafsu”.
STATUS HADIS -> https://www.facebook.com/permalink.php?story_fbid=1728639560753735&id=1697348283882863
*
Kita telah pulang dari jihad yang kecil (peperangan) dan kita menuju kepada jihad yang lebih besar/paling besar. Para sahabat berkata: Apakah jihad yang paling besar? Rasulullah berkata: Jihad menentang hawa nafsu”.
STATUS HADIS -> https://www.facebook.com/permalink.php?story_fbid=1728639560753735&id=1697348283882863
*
Ayat Mutasyabihat - Amalan Salaf Yang Sebenar
*
Mutasyabihat: Suatu lafaz yang maksudnya samar, tidak jelas dan sukar difaham kerana mengandungi tafsiran yang berbeza-beza.
Manakala, Syeikh Manna' Al-Qathan memberi takrifan ringkas iaitu:
المحكم : ما لايحتمل إلا وجها واحدا
والمتشابه : ما احتمل أوجها
"Al-Muhkam: Perkara yang difahami dengan satu makna sahaja."
"Al-Mutasyabih: Perkara yang difahami dengan beberapa makna"
Oleh itu, ayat Mutasyabihah mengandungi makna yang samar-samar kerana terdapat kepelbagaian makna atau disebut sebagai المشترك اللفظي (Perkongsian lafaz). Ayat-ayat yang lafaz zahirnya seolah-olah menggambarkan penyamaan Allah dengan makhluknya iaitu ayat-ayat yang menyebutkan wajah Allah, tangan Allah, mata Allah, Allah berada di langit dan sebagainya.
Bagaimana golongan Salaf beramal dengan ayat atau hadis mutasyabihat ?
Imam al-Qurthubi menuliskan dalam Tafsir nya sebagai berikut :
وهذه الآية من المشكلات، والناس فيها وفيما شاكلها على ثلاثة أوجه، قال بعضهم : نقرؤها ونؤمن بها ولا نفسرها؛ وذهب إليه كثير من الأئمة، وهذا كما روي عن مالك رحمه الله أن رجلاً سأله عن قوله تعالى ٱلرَّحْمَـٰنُ عَلَى ٱلْعَرْشِ ٱسْتَوَى,قال مالك : الاستواء غير مجهول، والكيف غير معقول، والإيمان به واجب، والسؤال عنه بدعة، وأراك رجل سَوْء! أخرجوه. وقال بعضهم : نقرؤها ونفسّرها على ما يحتمله ظاهر اللغة. وهذا قول المشبّهة. وقال بعضهم : نقرؤها ونتأوّلها ونُحيل حَمْلها على ظاهرها
Dan ayat ini sebagian dari ayat-ayat yang sulit, Dan manusia pada ayat ini dan pada ayat-ayat sulit lainnya, ada tiga (3) pendapat :
Sebagian mereka berkata : “kami baca dan kami imani dan tidak kami tafsirkan ayat tersebut, pendapat ini adalah pendapat majortiti para Imam,dan pendapat ini sebagaimana diriwayatkan dari Imam Malik –rahimahullah- bahwa seseorang bertanya kepada nya tentang firman Allah taala (Ar-Rahman ‘ala al-‘Arsyi Istawa), Imam Malik menjawab : Istiwa’ tidak majhul, dan kaifiyat tidak terpikir oleh akal (mustahil), dan beriman dengan nya wajib, dan bertanya tentang nya Bid’ah, dan saya lihat anda adalah orang yang tidak baik, tolong keluarkan dia”.
Dan sebagian mereka berkata : “kami bacakan dan kami tafsirkan menurut zahir bahasa (lughat)”, pendapat ini adalah pendapat Musyabbihah (orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk).
Dan sebagian mereka berkata : “kami bacakan dan kami Ta’wil dan kami berpaling dari memaknainya dengan makna dhohir”.
[Tafsir al-Qurthubi. Surat al-Baqarah ayat 29]
Huraian :
Ada 3 KAEDAH utama yang diamalkan oleh GOLONGAN SALAF untuk memahami ayat-ayat Mutasyabihat.
1. Kaedah Tafwidh Makna (Ta'wil Ijmali / Mazhab Salaf).
Imam al-Qurthubi menulis : “Sebahagian mereka berkata : kami baca dan kami imani dan tidak kami tafsirkan ayat tersebut, pendapat ini adalah pendapat majoriti para Imam”.
Tafwidh (التفويض) ialah serah kepada Allah.
Tafwidh Makna ialah MENYERAHKAN MAKNA PERKATAAN kepada Allah Taala, TANPA terjemahan atau tafsiran atau tanpa dimaknakan.
“Ijraa u ayaatis shifaat kama waradat wafawwadhu ma’aaniiha ila Allahi ta’ala”.
Ertinya : "Mengertikan ayat-ayat sifat dan hadis-hadisnya yang berhubung dengan sifat Tuhan menurut sepertimana yang Warid ( datang/ difirmankan atau disabdakan iaitu hanya menurut BACAAN nya sahaja bukan maknanya ) dan diTafwidh (serahkan) segala maknanya kepada Allah s.w.t." (Kitab Kaasyifus Shaghir m.s 23. Karangan Sa’id Abd. Lathif Fuu dah. Cetakan Daarul Al Razi)
Apabila nash al-Quran sebut istawa,mereka katakan istawa. Apabila nash al-Quran sebut Yad, mereka katakan Yad. Tanpa sebarang terjemahan, tafsiran dan penjelasan. Mereka menafikan tasybih (penyamaan dengan makhluk) dan tajsim (menjisimkan Allah).
Oleh itu, kalimah Istawa difahami seperti berikut:
* Beriman dengan kalimah Istawa.
* Kemudian diserah maksud Istawa kepada Allah tanpa meletakkan sebarang makna.
Kaedah Tafwidh Makna diamalkan oleh KEBANYAKAN Salaf.
Dr. Al-Qaradhawi mengatakan bahawa: "Realitinya, bagi sesiapa yang membaca karangan para ulama' salaf berkenaan ayat-ayat mutasyabihat, maka dia akan dapati bahawa, kebanyakkan daripada mereka meninggalkan usaha untuk mendalami MAKNA ayat-ayat mutasyabihat tersebut, tidak bersusah-payah untuk mentafsirkannya dengan sebarang ungkapan. Perkara ini jelas bahkan, hampir kepada tahap muttafaqun alaih (disepakati oleh para ulama').." (Fusulun fil Aqidah ms. 40-41).
Imam al-Qurthubi menulis : "dan kaifiyat tidak terpikir oleh akal (mustahil)"
Kaifiyat ialah "cara" atau "bagaimana".
Al Imam Malik dan lainnya tidak pernah mengatakan al Kaif Majhul الكيف مجهول :
Riwayat الكيف مجهول "al Kaif Majhul" tidak sahih dari sisi periwayatannya dari Imam Malik dan lainnya. [Syekh Abdullah al Harari, ad-Dalil al Qawiim 'ala ash-Shirath al Mustaqim (Beirut: tp, 1397 H), h. 36]
Hanya ada dua riwayat yang sahih dari para ulama salaf. Pertama: riwayat yang berbunyi:
" الرحمن على العرش استوى كما وصف نفسه ولا يقال كيف وكيف عنه مرفوع وما أراك إلا صاحب بدعة أخرجوه".
"Allah memiliki sifat istiwa' seperti yang Ia sifatkan sendiri untuk Dzat-Nya, tidak boleh dikatakan bagaimana dan Kaifiyat mustahil bagi-Nya".
Ini diriwayatkan oleh al Hafizh al Bayhaqi dari al Imam Malik dengan sanad yang Jayyid (kuat).
Kedua: riwayat dari Ummu Salamah dan Rabi'ah yang berbunyi:
" الاستواء غير مجهول والكيف غير معقول...".
"Istiwa sudah diketahui bahwa Allah disifati dengannya dan KAIFIYAT mustahil bagi-Nya". (Riwayat ini dituturkan oleh al-Laalka-i)
Di dalam Kitab Al- Furqan m/s 16 dinaqalkan Imam Malik radiallahuanhu menjawab :
الاستوا مذكور والكيف غير معقول والايمان به واجب والسوأل عنه بدعة
“Istiwa itu mazkuurun (disebutkan di dalam ayat Quran dan hadis) dan KAIF(bagaimana) tidak ma’qul (tidak difahami/tidak masuk akal/mustahil) , beriman dengannya wajib dan bertanya padanya bida’ah.”
Ucapan al-Khaththabi :
وعلى كل مسلم أن يعلمه أن ربنا ليس بذي صورةولا هيئة فإن الصورة تقتضي الكيفية وهي عناالله وصفاته منفية
“Dan atas setiap umat muslim hendaknya mengetahui bahwa Tuhan kita tidak memiliki bentuk dan juga tidak memiliki rupa, kerana di dalam bentuk memerlukan adanya kaifiyyat, sedangkan kaifiyyat dan sifat kaifiyyat itu bagi Allah sungguh dinafikan “.[Syarh Sahih Muslim : 3/395]
Sheikh Ibn Jauzi berkata dengan jelas: "Adapun kaifiyat itu bagi Allah merupakan suatu kemustahilan…" (Al-Mudhish: 131).
Imam Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah (193H) berkata:
كل شيء وصف الله به نفسه في القرآن فقراءته تفسيره لا كيف ولا مثل
"Semua yang Allah Ta’ala sifatkan untuk diri-Nya dalam al-Qur’an, maka bacaannya adalah tafsirnya, TIADA kaifiyyat, Tiada seumpamaNya." [Syarh Ushul al-I’tiqad Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, Imam al-Lalika’i, no. 736]
Al-Imam Malik pernah ditanya tentang makna “Istawa” sepertimana yang diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi di dalam kitabnya Al Asma’ Was-Sifat[ Al Imam Al-Bayhaqi, al-Asma’ was-Sifat; Bab ma ja’ fil-`Arsy wal-Kursi, Dar Al-Jail Beirut, hlm. 568 .]:
"يَا أَبَا عَبْد ِاللهِ: الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىْ كَيْفَ اسْتِوَاؤُهُ؟ قَالَ: فَاطُرَقَ مَالِكٌ وَ أَخَذَتْهُ الرَّحْضَاءَ ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ فَقَالَ: الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىْ كَمَا وَصَفَ نَفْسَهُ, وَلا يُقَالُ كَيْفَ وَ كَيْفَ عَنْهَ مَرْفُوْعٌ وَ أَنْتَ رَجُلٌ سُوْءٌ صَاحِبُ بِدْعَةٍ أَخَرَجُوْهُ. قَالَ فَأَخْرُجَ الرَّجُلَ".
Maksudnya:
"Wahai Abu Abdillah: “Ar-Rahman di atas `Arasy istawa”, bagaiman Dia istawa? Maka al-Imam Malik menundukkan kepalanya dan peluh membasahinya, kemudia beliau mengangkat mukanya lalu berkata: “Ar-Rahman di atas `Arasy istawa sepertimana Dia sifatkan diri-Nya dan bagaimana istawa-Nya (kaif) diangkat daripada-Nya (tiada bagi-Nya kaif). Sesungguhnya engkau ahli bid`ah, usirlah dia. Maka lelaki itupun diusir pergi" .
Ditegaskan Imam Malik:
ولا كيفَ و كيفٌ عنْهُ مرفُوْعٌ
“Tidak boleh dikatakan kaif, sebab kaif itu terangkat (mustahil bagi Allah).
*
Terdapat satu riwayat tentang kenyataan Imam Malik yang berbunyi:
"وَ الْكَيْفُ غَيْرُ الْمَعْقُوْلِ وَالإِيْمَانُ بِهِ وَاجِبٌ وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ".
Maksudnya:
"(Istawa’ itu disebut di dalam al-Quran) Dan kaifiyyatnya tidak ada sama sekali (tidak masuk akal), beriman dengannya adalah wajib dan bertanyakannya adalah bid`ah".
Al-Imam Al-Qarafi mensyarahkan maksud perkataan Imam Malik yang menyebut : "Al-Kaif tidak masuk akal" berkata[ Al-Imam Al-Qarafi di dalam kitabnya Az-Zakhirah,13/242.]:
"وَالْكَيْفُ غَيْرُ مَعْقُوْلٍ" مَعْنَاهُ أَنَّ ذَاتَ اللهِ لاتُوْصَفُ بِمَا وَضَعَتْ لَهُ الْعَرَبُ لَفْظَ كَيْفَ, وَهُوَ الأَحْوَالُ الْمُتَنَقِّلَةُ وَالْهَيْئَاتُ الْجِسْمِيَّةُ...فَلا يُعْقَلُ ذَلِكَ فِيْ حَقِّهِ لاِسْتِحَالَتِهِ فِيْ جِهَةِ الرُّبُوْبِيَّةِ".
Maksudnya:
"Al-Kaif tidak masuk akal" maknanya, zat Allah tidak disifati dengan apa yang diletakkan oleh kaedah bahasa Arab dengan lafaz Kaif iaitu (maksud sifat kaif) suatu keadaan-keadaan yang berpindah-pindah (terpisah-pisah) dan suatu keadaan (sifat) kejisiman...Maka tidak masuk akal (mustahil) ianya (Kaif) dinisbahkan kepada Allah kerana ianya (kejisiman dan sifat makhluk) mustahil bagi sifat ketuhanan (Allah ta`ala)" .
*
Al-Imam al-Alusi (W 1270 H) di dalam kitab tafsirnya yang berjudul Ruh Al-Maani dengan menyatakan[ Al-Imam al-Alusi, Ruh al-Maani, Dar Al-Fikr, j. 4, h. 136.]:
"لَيْسَ نَصًّا فِيْ هَذَا الْمَذْهَبِ لاِحْتِمَالِ أَنْ يَكُوْنَ الْمُرَادُ مِنْ قَوْلِهِ: غَيْرُ مَجْهُوْلٍ أَنَّهُ ثَابِتٌ مَعْلُوْمُ الثُّبُوْتِ لا لأَنَّ مَعْنَاهُ هُوَ الاِسْتِقْرَارُ غَيْرَ مَجْهُوْلٍ. وَ مِنْ قَوْلِهِ: وَالْكَيْفُ غَيْرُ مَعْقُوْلٍ إِنَّ كُلَّ مَا هُوَ مِنْ صِفَةِ اللهِ تَعَالَى لا يَدْرِكُ الْعَقْلُ لَهُ كَيْفِيَّةً لِتَعَالِيْهِ عَنْ ذَلِكَ".
Maksudnya:
"Ianya bukan merupakan satu nas bagi mazhab[6], ini kerana kemungkinan yang dimaksudkan dengan kata-katanya’dimaklumi’ itu ialah bahawa makna istawa itu sahih dan diketahui sahih kewujudannya dalam bahasa Arab, bukanlah maksud beliau bahawa sifat ‘menetap’ (istiqrar) itu yang diketahui. Dan kata-kata beliau bahawa kaif itu tidak dapat di bayangkan oleh akal ialah setiap sifat Allah ta`ala itu tidak dapat dicapai oleh akal kerana Maha Suci Allah daripada mempunyai kaif" .
Golongan SALAF MENAFIKAN kaifiyat bagi Allah. Mereka mengatakan KAIFIYAT atau SIFAT KAIFIYAT adalah MUSTAHIL bagi ALLAH. Kaifiyat untuk MAKHLUK sahaja. Allah TIDAK ADA kaifiyat.
2. Kaedah Ta'wil Makna. (Ta'wil Tafsili / Mazhab Khalaf).
Imam al-Qurthubi menulis : Dan sebagian mereka berkata : “kami bacakan dan kami Ta’wil dan kami berpaling dari memaknainya dengan makna dhohir”.
Ta'wil ialah memalingkan makna zahir kepada makna lain yang masih dapat dikandungnya, yang sesuai dengan Al-Quran dan As-Sunnah. (Al-Imam Al-Jurjani ,At-Ta‘rifât, 50).
Menjauhkan makna dari segi zahirnya kepada makna yang lebih layak bagi Allah, ini kerana zahir makna nas al-Mutasyabihat tersebut mempunyai unsur jelas persamaan Allah dengan makhluk.
Memberi makna lain kepada sesuatu lafaz, berdasarkan qarinah (petunjuk) dalam jumlah keseluruhan atau sebahagian ayat tersebut.
Oleh itu, kalimah Istawa difahami seperti berikut:
* Beriman dengan kalimah Istawa daripada Al-Quran
* Kemudian ditakwilkan MAKNAnya kepada Istaula (استولى) yang bermaksud menguasai.
*
Bukti ada Salaf yang amal TAKWIL :
Imam Abu Abdir Rahman Abdullah ibn Yahya ibn al-Mubarak (w 237 H), dalam karyanya berjudul Gharib al-Quran Wa Tafsiruh dalam menafsirkan firman Allah QS. Thaha: 5 mengatakan: “Al-Istiwa’ maknanya al-Istaula (menguasai)”.[Gharib al-Quran wa Tafsiruh, h. 133]
Imam Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir ath-Thabari (w 310 H) mentakwil firman Allah QS. Al-Baqarah: 29 “Tsummastawa Ilas sama’” berkata: “Maknanya ketinggian kekuasaan (uluww Mulk wa sulthan), bukan dengan makna tinggi bertempat, pindah dan berubah”.[Jami’ al-Bayan ‘an ta’wil Ay al0Quranm j. 1, h. 191-192]
Imam an-Nasafi menulis: Istawa ertinya Istaula, dari Imam Salaf Az-Zajjaj (241-311 H). (Tafsir An-Nasafi - Surat al-A’raf – ayat 54).
Imam al-Lughawiy Abu Ishaq Ibrahim ibn as-Sariyy az-Zajjaj (w 311 H) memaknakan Istawa dengan Istaula.[Ma’ani al-Quran wa I’rabuh, j. 3, h. 350]
Imam al-Lughawiy Abu al-Qasim Abdul Rahman ibn Ishaq az-Zajjaji (w 340 H) menuliskan bahawa nama Allah al-‘Alyy dan al-Ali adalah dalam pengertian yang Maha menguasai dan Maha menundukkan atas segala sesuatu.[Istiqaq asma’ Allah, h. 109]
Imam al-Mutakallim Abu Mansur Muhammad ibn Muhammad al-Maturidi al-Hanafi (w 333 H) menafsirkan firman Allah QS. Thaha: 5, berkata: “atau dalam makna menguasainya (menguasai arasy), kerana tidak ada menguasainya dan tidak ada yang mengaturnya selain Dia Allah”.[Ta’wilat Ahlussunnah, j. 1, h. 85]
*
Dalil berkaitan TAKWIL: Rasulullah berdoa kepada Ibnu Abbas dengan doa: Maknanya: “Ya Allah alimkanlah dia dengan hikmah dan ta'wil Al quran”. (H.R Ibnu Majah)
Hadis riwayat Ibnu al-Mundziri:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ :(وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَهُ اِلاَّ اللهُ وَ الرَّاسِخُوْنَ فِى الْعِلْمِ) قَالَ: اَنَـامِمَّنْ يَعْلَمُوْنَ تَـأْوِيْـلَهُ.(رواه ابن المنذر)
"Dari Ibnu Abbas tentang firman Allah: 'Dan tidak mengetahui takwilnya kecuali Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya'. Berkata Ibnu Abbas: 'Saya adalah di antara orang yang mengetahui takwilnya."
1) Ibnu Abbas menta’wîl ayat : يوم يُكْشَفُ عَ ن ساقٍ “Pada hari betis disingkapkan.” (QS. al Qalam [68]:42) Ibnu Abbas ra. berkata : “Disingkap dari kegentingan.” Disini kata ساقٍ (BETIS) dita’wîl dengan makna شِدَّ ةٌ “KEGENTINGAN”.
Ta’wîl ayat di atas ini telah disebutkan juga oleh Ibnu Hajar dalam Fathu al Bâri,13/428 dan Ibnu Jarir dalam tafsirnya 29/38. Ia mengawali tafsirnya dengan mengatakan, “Berkata sekelompok sahabat dan tabi’în dari para ahli ta’wîl, maknanya (ayat al-Qalam:42) ialah, “Hari di mana disingkap (diangkat) perkara yang genting.”
2) Ibnu Abbas ra. menta’wîl ayat : و السَّمَا ءَ بَنَيْناهَا بِأَيْدٍ و إِنَّا لَمُوسِعُو ن “Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan Sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa.” (QS adz Dzâriyât [51] : 47). Kata أَیْدٍ secara lahiriyah adalah TANGAN, ia bentuk jama’ dari kata یَدٌ . Ibnu Abbas ra. mena’wîl erti kata YADD/TANGAN dalam ayat Adz-Dzariyat ini dengan بِقُوَّةٍ erti KEKUATAN. Demikian diriwayatkan al-Hafidz Imam Ibnu Jarir ath-Thabari dalam tafsirnya, 7/27. Selain dari Ibnu Abbas ra., ta’wîl serupa juga diriwayatkannya dari para tokoh Tabi’în dan para Salaf seperti Mujahid, Qatadah, Manshur Ibnu Zaid dan Sufyan.
3). Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : فَالْيَوْمَ نَنْسَاهُمْ كَمَا نَسُوا لِقَاءَ يَوْمِهِمْ هَٰذَا
“Maka pada hari ini, Kami melupakan mereka sebagaimana mereka melupakan pertemuan mereka dengan hari ini…” (QS. al A’râf [7]:51). Ibnu Abbas ra. menta’wil ayat ini yang menyebut perkataan MELUPAKAN dengan ta’wîl "MEMBIARKAN”. Ibnu Jarir berkata: “iaitu maka pada hari ini iaitu hari kiamat, Kami MELUPAKAN mereka, Dia berfirman, Kami MEMBIARKAN mereka dalam siksa..’ (Tafsir Ibnu Jarir, 8/201)
4) Ath-Thabari mengemukakan dua riwayat yang bersanad kepada Ibnu Abbas, berkenaan dengan penafsiran firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berbunyi, “Kursi Allah meliputi langit dan bumi. ” Ath-Thabari berkata, “Para ahli takwil berselisih pendapat tentang arti kursi. Sebagian mereka berpendapat bahwa yang dimaksud adalah ilmu Allah. Orang yang berpendapat demikian bersandar kepada Ibnu Abbas yang mengatakan, ‘Kursi-Nya adalah ilmu-Nya.’ Ada pun riwayat lainnya yang juga bersandar kepada Ibnu Abbas mengatakan, ‘Kursi-Nya adalah ilmu-Nya’ Bukankah kita melihat di dalam firman-Nya, ‘Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya.’” (Tafsir ath-Thabari, jld 3, hal 7.)
5) Tafsiran firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berbunyi, “Segala sesuatu pasti binasa kecuali WAJAH-Nya” (QS. al-Qashash: 88), dan juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berbunyi, “Dan tetap kekal WAJAH Tuhanmu, yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan” (QS. ar-Rahman: 27),
Ath-Thabari berkata, “Mereka berselisih tentang makna firman-Nya, ‘kecuali WAJAH-Nya’. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa yang dimaksud ialah, segala sesuatu pasti binasa 'KECUALI DIA'. Sementara sebagian lain berkata bahwa maknanya ialah, 'kecuali yang dikehendaki wajah-Nya', dan mereka mengutip sebuah syair untuk mendukung takwil mereka, “Saya memohon ampun kepada Allah dari dosa yang saya tidak mampu menghitungnya Tuhan, yang kepada-Nya lah wajah dan amal dihadapkan.” (Tafsir ath-Thabari, jld 2, hal 82).
Al-Baghawai berkata, “Yang dimaksud dengan ‘kecuali wajah-Nya’ ialah ‘kecuali Dia’. Ada juga yang mengatakan, ‘kecuali kekuasaan-Nya’.”
Abul ‘lyalah berkata, “Yang dimaksud ialah ‘kecuali yang dikehendaki wajah-Nya’.” (Tafsir al-Baghawi).
Di dalam kitab ad-Durr al-Mantsur, dari Ibnu Abbas yang berkata, “ertinya ialah ‘kecuali yang dikehendaki wajah-Nya’.” Dari Mujahid yang berkata, “Yang dimaksud ialah ‘kecuali yang dikehendaki wajah-Nya.’”
Dari Sufyan yang berkata, “Yang dimaksud ialah ‘kecuali yang dikehendaki wajah-Nya, dari amal perbuatan yang saleh’.”
Ibnu Abbas ra. adalah seorang sahabat. Mujahid adalah seorang tabi’în. Ibnu Jarir, ath-Thabari adalah Ulama Tafsir kalangan Salaf…
SEBAHAGIAN salaf, termasuk Ibnu Abbas mentakwil ayat-ayat Al-Quran. KEBANYAKAN Salaf lebih memilih Tafwidh tetapi tidak mengkafirkan SEBAHAGIAN yang bermanhaj Ta’wil.
3. Kaedah ITHBAT MAKNA. (Pegang zahir ayat)
Imam al-Qurthubi menuliskan dalam Tafsir nya: "Dan sebahagian mereka berkata : “kami bacakan dan kami tafsirkan menurut zahir bahasa (lughat)”, dan ini golongan Musyabbihah".
Kaedah ITHBAT MAKNA ialah beriman kepada sesuatu sifat Allah sebagaimana yang dikhabarkan oleh al-Qur’an dengan "difahami maknanya". “Difahami maknanya” bererti diketahui makna sifat tersebut mengikut apa yang lazim dalam bahasa Arab.
Kaedah ITHBAT MAKNA ialah menetapkan makna ayat secara pasti mengikut makna zohir.
Oleh itu, kalimah Istawa difahami seperti berikut:
* Dimaknakan/diterjemah kalimah Istawa kepada JALASA/DUDUK/BERSEMAYAM.
Imam al-Qurthubi mengatakan ia adalah kaum Musyabbihah. Kerana dalam kaedah ini berlaku "menyerupakan Allah dengan makhluk"
Al-Imam al-Shafi`e radiyallahu `anhu (wafat 204 H) mengatakan :
مَنِ اعَقَدَ أَنَّ اللّهَ جَالِسٌ عَلَى العَرشِ فَهُوَ كَافِرٌ فَلَا تَصِحُّ الصَّلَاةُ خَلفَهُ
Maksudnya: "Sesiapa yang meyakini Allah jalis (duduk/bersemayam) atas Arasy, maka dia telah kafir, maka tidak sah bermakmum solat kepada orang tersebut". (Kifayah an-Nabih Syarah at-Tanbih karya Ibn ar-Rif'ah,Juz 4 hal 24 cetakan Dar al-Kutub)
KAEDAH ITHBAT MAKNA DITOLAK kerana dalam kaedah ini berlaku "menyerupakan Allah dengan makhluk".
*
Kesimpulan :
· Untuk memahami nash Mutasyabihat, ulama Salaf menerima 2 kaedah sahaja, Tafwidh makna dan Ta’wil makna.
· Sepakat ulama Salaf menolak kaedah memahami nash Mutasyabihat dengan makna dhohir (Isbat Makna).
· Salaf sebenar MENAFIKAN kaifiyat, TIDAK tafwidh kaifiyat kerana mustahil kaifiyat bagi Allah.
Wallahu a’lam.
*
Link pilihan:
hindari-memahami-ayat-mutasyabihat-pada-makna-zahirnya
Ulama Salaf Dan Khalaf Yang Mentakwil Istawa
Di mana salahnya aqidah fahaman Wahabi Salafi
Kefahaman yang Sahih tentang fahaman SALAF
MEMAHAMI FAHAMAN TAJSIM
Akidah Salafi Wahabi - Isbat Makna Tafwid Kaifiat
Manhaj SALAF Yang Sebenar
http://www.ngaji.web.id/2015/05/tawil-dan-tafwidh-istiwa-dalam-ayat-ar.html
http://www.aswj-rg.com/2013/10/bantahan-dan-jawaban-ilmiah-buat-asrie-shobrie-isu-tafwidh.html
*
Mutasyabihat: Suatu lafaz yang maksudnya samar, tidak jelas dan sukar difaham kerana mengandungi tafsiran yang berbeza-beza.
Manakala, Syeikh Manna' Al-Qathan memberi takrifan ringkas iaitu:
المحكم : ما لايحتمل إلا وجها واحدا
والمتشابه : ما احتمل أوجها
"Al-Muhkam: Perkara yang difahami dengan satu makna sahaja."
"Al-Mutasyabih: Perkara yang difahami dengan beberapa makna"
Oleh itu, ayat Mutasyabihah mengandungi makna yang samar-samar kerana terdapat kepelbagaian makna atau disebut sebagai المشترك اللفظي (Perkongsian lafaz). Ayat-ayat yang lafaz zahirnya seolah-olah menggambarkan penyamaan Allah dengan makhluknya iaitu ayat-ayat yang menyebutkan wajah Allah, tangan Allah, mata Allah, Allah berada di langit dan sebagainya.
Bagaimana golongan Salaf beramal dengan ayat atau hadis mutasyabihat ?
Imam al-Qurthubi menuliskan dalam Tafsir nya sebagai berikut :
وهذه الآية من المشكلات، والناس فيها وفيما شاكلها على ثلاثة أوجه، قال بعضهم : نقرؤها ونؤمن بها ولا نفسرها؛ وذهب إليه كثير من الأئمة، وهذا كما روي عن مالك رحمه الله أن رجلاً سأله عن قوله تعالى ٱلرَّحْمَـٰنُ عَلَى ٱلْعَرْشِ ٱسْتَوَى,قال مالك : الاستواء غير مجهول، والكيف غير معقول، والإيمان به واجب، والسؤال عنه بدعة، وأراك رجل سَوْء! أخرجوه. وقال بعضهم : نقرؤها ونفسّرها على ما يحتمله ظاهر اللغة. وهذا قول المشبّهة. وقال بعضهم : نقرؤها ونتأوّلها ونُحيل حَمْلها على ظاهرها
Dan ayat ini sebagian dari ayat-ayat yang sulit, Dan manusia pada ayat ini dan pada ayat-ayat sulit lainnya, ada tiga (3) pendapat :
Sebagian mereka berkata : “kami baca dan kami imani dan tidak kami tafsirkan ayat tersebut, pendapat ini adalah pendapat majortiti para Imam,dan pendapat ini sebagaimana diriwayatkan dari Imam Malik –rahimahullah- bahwa seseorang bertanya kepada nya tentang firman Allah taala (Ar-Rahman ‘ala al-‘Arsyi Istawa), Imam Malik menjawab : Istiwa’ tidak majhul, dan kaifiyat tidak terpikir oleh akal (mustahil), dan beriman dengan nya wajib, dan bertanya tentang nya Bid’ah, dan saya lihat anda adalah orang yang tidak baik, tolong keluarkan dia”.
Dan sebagian mereka berkata : “kami bacakan dan kami tafsirkan menurut zahir bahasa (lughat)”, pendapat ini adalah pendapat Musyabbihah (orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk).
Dan sebagian mereka berkata : “kami bacakan dan kami Ta’wil dan kami berpaling dari memaknainya dengan makna dhohir”.
[Tafsir al-Qurthubi. Surat al-Baqarah ayat 29]
Huraian :
Ada 3 KAEDAH utama yang diamalkan oleh GOLONGAN SALAF untuk memahami ayat-ayat Mutasyabihat.
1. Kaedah Tafwidh Makna (Ta'wil Ijmali / Mazhab Salaf).
Imam al-Qurthubi menulis : “Sebahagian mereka berkata : kami baca dan kami imani dan tidak kami tafsirkan ayat tersebut, pendapat ini adalah pendapat majoriti para Imam”.
Tafwidh (التفويض) ialah serah kepada Allah.
Tafwidh Makna ialah MENYERAHKAN MAKNA PERKATAAN kepada Allah Taala, TANPA terjemahan atau tafsiran atau tanpa dimaknakan.
“Ijraa u ayaatis shifaat kama waradat wafawwadhu ma’aaniiha ila Allahi ta’ala”.
Ertinya : "Mengertikan ayat-ayat sifat dan hadis-hadisnya yang berhubung dengan sifat Tuhan menurut sepertimana yang Warid ( datang/ difirmankan atau disabdakan iaitu hanya menurut BACAAN nya sahaja bukan maknanya ) dan diTafwidh (serahkan) segala maknanya kepada Allah s.w.t." (Kitab Kaasyifus Shaghir m.s 23. Karangan Sa’id Abd. Lathif Fuu dah. Cetakan Daarul Al Razi)
Apabila nash al-Quran sebut istawa,mereka katakan istawa. Apabila nash al-Quran sebut Yad, mereka katakan Yad. Tanpa sebarang terjemahan, tafsiran dan penjelasan. Mereka menafikan tasybih (penyamaan dengan makhluk) dan tajsim (menjisimkan Allah).
Oleh itu, kalimah Istawa difahami seperti berikut:
* Beriman dengan kalimah Istawa.
* Kemudian diserah maksud Istawa kepada Allah tanpa meletakkan sebarang makna.
Kaedah Tafwidh Makna diamalkan oleh KEBANYAKAN Salaf.
Dr. Al-Qaradhawi mengatakan bahawa: "Realitinya, bagi sesiapa yang membaca karangan para ulama' salaf berkenaan ayat-ayat mutasyabihat, maka dia akan dapati bahawa, kebanyakkan daripada mereka meninggalkan usaha untuk mendalami MAKNA ayat-ayat mutasyabihat tersebut, tidak bersusah-payah untuk mentafsirkannya dengan sebarang ungkapan. Perkara ini jelas bahkan, hampir kepada tahap muttafaqun alaih (disepakati oleh para ulama').." (Fusulun fil Aqidah ms. 40-41).
Imam al-Qurthubi menulis : "dan kaifiyat tidak terpikir oleh akal (mustahil)"
Kaifiyat ialah "cara" atau "bagaimana".
Al Imam Malik dan lainnya tidak pernah mengatakan al Kaif Majhul الكيف مجهول :
Riwayat الكيف مجهول "al Kaif Majhul" tidak sahih dari sisi periwayatannya dari Imam Malik dan lainnya. [Syekh Abdullah al Harari, ad-Dalil al Qawiim 'ala ash-Shirath al Mustaqim (Beirut: tp, 1397 H), h. 36]
Hanya ada dua riwayat yang sahih dari para ulama salaf. Pertama: riwayat yang berbunyi:
" الرحمن على العرش استوى كما وصف نفسه ولا يقال كيف وكيف عنه مرفوع وما أراك إلا صاحب بدعة أخرجوه".
"Allah memiliki sifat istiwa' seperti yang Ia sifatkan sendiri untuk Dzat-Nya, tidak boleh dikatakan bagaimana dan Kaifiyat mustahil bagi-Nya".
Ini diriwayatkan oleh al Hafizh al Bayhaqi dari al Imam Malik dengan sanad yang Jayyid (kuat).
Kedua: riwayat dari Ummu Salamah dan Rabi'ah yang berbunyi:
" الاستواء غير مجهول والكيف غير معقول...".
"Istiwa sudah diketahui bahwa Allah disifati dengannya dan KAIFIYAT mustahil bagi-Nya". (Riwayat ini dituturkan oleh al-Laalka-i)
Di dalam Kitab Al- Furqan m/s 16 dinaqalkan Imam Malik radiallahuanhu menjawab :
الاستوا مذكور والكيف غير معقول والايمان به واجب والسوأل عنه بدعة
“Istiwa itu mazkuurun (disebutkan di dalam ayat Quran dan hadis) dan KAIF(bagaimana) tidak ma’qul (tidak difahami/tidak masuk akal/mustahil) , beriman dengannya wajib dan bertanya padanya bida’ah.”
Ucapan al-Khaththabi :
وعلى كل مسلم أن يعلمه أن ربنا ليس بذي صورةولا هيئة فإن الصورة تقتضي الكيفية وهي عناالله وصفاته منفية
“Dan atas setiap umat muslim hendaknya mengetahui bahwa Tuhan kita tidak memiliki bentuk dan juga tidak memiliki rupa, kerana di dalam bentuk memerlukan adanya kaifiyyat, sedangkan kaifiyyat dan sifat kaifiyyat itu bagi Allah sungguh dinafikan “.[Syarh Sahih Muslim : 3/395]
Sheikh Ibn Jauzi berkata dengan jelas: "Adapun kaifiyat itu bagi Allah merupakan suatu kemustahilan…" (Al-Mudhish: 131).
Imam Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah (193H) berkata:
كل شيء وصف الله به نفسه في القرآن فقراءته تفسيره لا كيف ولا مثل
"Semua yang Allah Ta’ala sifatkan untuk diri-Nya dalam al-Qur’an, maka bacaannya adalah tafsirnya, TIADA kaifiyyat, Tiada seumpamaNya." [Syarh Ushul al-I’tiqad Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, Imam al-Lalika’i, no. 736]
Al-Imam Malik pernah ditanya tentang makna “Istawa” sepertimana yang diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi di dalam kitabnya Al Asma’ Was-Sifat[ Al Imam Al-Bayhaqi, al-Asma’ was-Sifat; Bab ma ja’ fil-`Arsy wal-Kursi, Dar Al-Jail Beirut, hlm. 568 .]:
"يَا أَبَا عَبْد ِاللهِ: الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىْ كَيْفَ اسْتِوَاؤُهُ؟ قَالَ: فَاطُرَقَ مَالِكٌ وَ أَخَذَتْهُ الرَّحْضَاءَ ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ فَقَالَ: الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىْ كَمَا وَصَفَ نَفْسَهُ, وَلا يُقَالُ كَيْفَ وَ كَيْفَ عَنْهَ مَرْفُوْعٌ وَ أَنْتَ رَجُلٌ سُوْءٌ صَاحِبُ بِدْعَةٍ أَخَرَجُوْهُ. قَالَ فَأَخْرُجَ الرَّجُلَ".
Maksudnya:
"Wahai Abu Abdillah: “Ar-Rahman di atas `Arasy istawa”, bagaiman Dia istawa? Maka al-Imam Malik menundukkan kepalanya dan peluh membasahinya, kemudia beliau mengangkat mukanya lalu berkata: “Ar-Rahman di atas `Arasy istawa sepertimana Dia sifatkan diri-Nya dan bagaimana istawa-Nya (kaif) diangkat daripada-Nya (tiada bagi-Nya kaif). Sesungguhnya engkau ahli bid`ah, usirlah dia. Maka lelaki itupun diusir pergi" .
Ditegaskan Imam Malik:
ولا كيفَ و كيفٌ عنْهُ مرفُوْعٌ
“Tidak boleh dikatakan kaif, sebab kaif itu terangkat (mustahil bagi Allah).
*
Terdapat satu riwayat tentang kenyataan Imam Malik yang berbunyi:
"وَ الْكَيْفُ غَيْرُ الْمَعْقُوْلِ وَالإِيْمَانُ بِهِ وَاجِبٌ وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ".
Maksudnya:
"(Istawa’ itu disebut di dalam al-Quran) Dan kaifiyyatnya tidak ada sama sekali (tidak masuk akal), beriman dengannya adalah wajib dan bertanyakannya adalah bid`ah".
Al-Imam Al-Qarafi mensyarahkan maksud perkataan Imam Malik yang menyebut : "Al-Kaif tidak masuk akal" berkata[ Al-Imam Al-Qarafi di dalam kitabnya Az-Zakhirah,13/242.]:
"وَالْكَيْفُ غَيْرُ مَعْقُوْلٍ" مَعْنَاهُ أَنَّ ذَاتَ اللهِ لاتُوْصَفُ بِمَا وَضَعَتْ لَهُ الْعَرَبُ لَفْظَ كَيْفَ, وَهُوَ الأَحْوَالُ الْمُتَنَقِّلَةُ وَالْهَيْئَاتُ الْجِسْمِيَّةُ...فَلا يُعْقَلُ ذَلِكَ فِيْ حَقِّهِ لاِسْتِحَالَتِهِ فِيْ جِهَةِ الرُّبُوْبِيَّةِ".
Maksudnya:
"Al-Kaif tidak masuk akal" maknanya, zat Allah tidak disifati dengan apa yang diletakkan oleh kaedah bahasa Arab dengan lafaz Kaif iaitu (maksud sifat kaif) suatu keadaan-keadaan yang berpindah-pindah (terpisah-pisah) dan suatu keadaan (sifat) kejisiman...Maka tidak masuk akal (mustahil) ianya (Kaif) dinisbahkan kepada Allah kerana ianya (kejisiman dan sifat makhluk) mustahil bagi sifat ketuhanan (Allah ta`ala)" .
*
Al-Imam al-Alusi (W 1270 H) di dalam kitab tafsirnya yang berjudul Ruh Al-Maani dengan menyatakan[ Al-Imam al-Alusi, Ruh al-Maani, Dar Al-Fikr, j. 4, h. 136.]:
"لَيْسَ نَصًّا فِيْ هَذَا الْمَذْهَبِ لاِحْتِمَالِ أَنْ يَكُوْنَ الْمُرَادُ مِنْ قَوْلِهِ: غَيْرُ مَجْهُوْلٍ أَنَّهُ ثَابِتٌ مَعْلُوْمُ الثُّبُوْتِ لا لأَنَّ مَعْنَاهُ هُوَ الاِسْتِقْرَارُ غَيْرَ مَجْهُوْلٍ. وَ مِنْ قَوْلِهِ: وَالْكَيْفُ غَيْرُ مَعْقُوْلٍ إِنَّ كُلَّ مَا هُوَ مِنْ صِفَةِ اللهِ تَعَالَى لا يَدْرِكُ الْعَقْلُ لَهُ كَيْفِيَّةً لِتَعَالِيْهِ عَنْ ذَلِكَ".
Maksudnya:
"Ianya bukan merupakan satu nas bagi mazhab[6], ini kerana kemungkinan yang dimaksudkan dengan kata-katanya’dimaklumi’ itu ialah bahawa makna istawa itu sahih dan diketahui sahih kewujudannya dalam bahasa Arab, bukanlah maksud beliau bahawa sifat ‘menetap’ (istiqrar) itu yang diketahui. Dan kata-kata beliau bahawa kaif itu tidak dapat di bayangkan oleh akal ialah setiap sifat Allah ta`ala itu tidak dapat dicapai oleh akal kerana Maha Suci Allah daripada mempunyai kaif" .
Golongan SALAF MENAFIKAN kaifiyat bagi Allah. Mereka mengatakan KAIFIYAT atau SIFAT KAIFIYAT adalah MUSTAHIL bagi ALLAH. Kaifiyat untuk MAKHLUK sahaja. Allah TIDAK ADA kaifiyat.
2. Kaedah Ta'wil Makna. (Ta'wil Tafsili / Mazhab Khalaf).
Imam al-Qurthubi menulis : Dan sebagian mereka berkata : “kami bacakan dan kami Ta’wil dan kami berpaling dari memaknainya dengan makna dhohir”.
Ta'wil ialah memalingkan makna zahir kepada makna lain yang masih dapat dikandungnya, yang sesuai dengan Al-Quran dan As-Sunnah. (Al-Imam Al-Jurjani ,At-Ta‘rifât, 50).
Menjauhkan makna dari segi zahirnya kepada makna yang lebih layak bagi Allah, ini kerana zahir makna nas al-Mutasyabihat tersebut mempunyai unsur jelas persamaan Allah dengan makhluk.
Memberi makna lain kepada sesuatu lafaz, berdasarkan qarinah (petunjuk) dalam jumlah keseluruhan atau sebahagian ayat tersebut.
Oleh itu, kalimah Istawa difahami seperti berikut:
* Beriman dengan kalimah Istawa daripada Al-Quran
* Kemudian ditakwilkan MAKNAnya kepada Istaula (استولى) yang bermaksud menguasai.
*
Bukti ada Salaf yang amal TAKWIL :
Imam Abu Abdir Rahman Abdullah ibn Yahya ibn al-Mubarak (w 237 H), dalam karyanya berjudul Gharib al-Quran Wa Tafsiruh dalam menafsirkan firman Allah QS. Thaha: 5 mengatakan: “Al-Istiwa’ maknanya al-Istaula (menguasai)”.[Gharib al-Quran wa Tafsiruh, h. 133]
Imam Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir ath-Thabari (w 310 H) mentakwil firman Allah QS. Al-Baqarah: 29 “Tsummastawa Ilas sama’” berkata: “Maknanya ketinggian kekuasaan (uluww Mulk wa sulthan), bukan dengan makna tinggi bertempat, pindah dan berubah”.[Jami’ al-Bayan ‘an ta’wil Ay al0Quranm j. 1, h. 191-192]
Imam an-Nasafi menulis: Istawa ertinya Istaula, dari Imam Salaf Az-Zajjaj (241-311 H). (Tafsir An-Nasafi - Surat al-A’raf – ayat 54).
Imam al-Lughawiy Abu Ishaq Ibrahim ibn as-Sariyy az-Zajjaj (w 311 H) memaknakan Istawa dengan Istaula.[Ma’ani al-Quran wa I’rabuh, j. 3, h. 350]
Imam al-Lughawiy Abu al-Qasim Abdul Rahman ibn Ishaq az-Zajjaji (w 340 H) menuliskan bahawa nama Allah al-‘Alyy dan al-Ali adalah dalam pengertian yang Maha menguasai dan Maha menundukkan atas segala sesuatu.[Istiqaq asma’ Allah, h. 109]
Imam al-Mutakallim Abu Mansur Muhammad ibn Muhammad al-Maturidi al-Hanafi (w 333 H) menafsirkan firman Allah QS. Thaha: 5, berkata: “atau dalam makna menguasainya (menguasai arasy), kerana tidak ada menguasainya dan tidak ada yang mengaturnya selain Dia Allah”.[Ta’wilat Ahlussunnah, j. 1, h. 85]
*
Dalil berkaitan TAKWIL: Rasulullah berdoa kepada Ibnu Abbas dengan doa: Maknanya: “Ya Allah alimkanlah dia dengan hikmah dan ta'wil Al quran”. (H.R Ibnu Majah)
Hadis riwayat Ibnu al-Mundziri:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ :(وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَهُ اِلاَّ اللهُ وَ الرَّاسِخُوْنَ فِى الْعِلْمِ) قَالَ: اَنَـامِمَّنْ يَعْلَمُوْنَ تَـأْوِيْـلَهُ.(رواه ابن المنذر)
"Dari Ibnu Abbas tentang firman Allah: 'Dan tidak mengetahui takwilnya kecuali Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya'. Berkata Ibnu Abbas: 'Saya adalah di antara orang yang mengetahui takwilnya."
1) Ibnu Abbas menta’wîl ayat : يوم يُكْشَفُ عَ ن ساقٍ “Pada hari betis disingkapkan.” (QS. al Qalam [68]:42) Ibnu Abbas ra. berkata : “Disingkap dari kegentingan.” Disini kata ساقٍ (BETIS) dita’wîl dengan makna شِدَّ ةٌ “KEGENTINGAN”.
Ta’wîl ayat di atas ini telah disebutkan juga oleh Ibnu Hajar dalam Fathu al Bâri,13/428 dan Ibnu Jarir dalam tafsirnya 29/38. Ia mengawali tafsirnya dengan mengatakan, “Berkata sekelompok sahabat dan tabi’în dari para ahli ta’wîl, maknanya (ayat al-Qalam:42) ialah, “Hari di mana disingkap (diangkat) perkara yang genting.”
2) Ibnu Abbas ra. menta’wîl ayat : و السَّمَا ءَ بَنَيْناهَا بِأَيْدٍ و إِنَّا لَمُوسِعُو ن “Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan Sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa.” (QS adz Dzâriyât [51] : 47). Kata أَیْدٍ secara lahiriyah adalah TANGAN, ia bentuk jama’ dari kata یَدٌ . Ibnu Abbas ra. mena’wîl erti kata YADD/TANGAN dalam ayat Adz-Dzariyat ini dengan بِقُوَّةٍ erti KEKUATAN. Demikian diriwayatkan al-Hafidz Imam Ibnu Jarir ath-Thabari dalam tafsirnya, 7/27. Selain dari Ibnu Abbas ra., ta’wîl serupa juga diriwayatkannya dari para tokoh Tabi’în dan para Salaf seperti Mujahid, Qatadah, Manshur Ibnu Zaid dan Sufyan.
3). Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : فَالْيَوْمَ نَنْسَاهُمْ كَمَا نَسُوا لِقَاءَ يَوْمِهِمْ هَٰذَا
“Maka pada hari ini, Kami melupakan mereka sebagaimana mereka melupakan pertemuan mereka dengan hari ini…” (QS. al A’râf [7]:51). Ibnu Abbas ra. menta’wil ayat ini yang menyebut perkataan MELUPAKAN dengan ta’wîl "MEMBIARKAN”. Ibnu Jarir berkata: “iaitu maka pada hari ini iaitu hari kiamat, Kami MELUPAKAN mereka, Dia berfirman, Kami MEMBIARKAN mereka dalam siksa..’ (Tafsir Ibnu Jarir, 8/201)
4) Ath-Thabari mengemukakan dua riwayat yang bersanad kepada Ibnu Abbas, berkenaan dengan penafsiran firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berbunyi, “Kursi Allah meliputi langit dan bumi. ” Ath-Thabari berkata, “Para ahli takwil berselisih pendapat tentang arti kursi. Sebagian mereka berpendapat bahwa yang dimaksud adalah ilmu Allah. Orang yang berpendapat demikian bersandar kepada Ibnu Abbas yang mengatakan, ‘Kursi-Nya adalah ilmu-Nya.’ Ada pun riwayat lainnya yang juga bersandar kepada Ibnu Abbas mengatakan, ‘Kursi-Nya adalah ilmu-Nya’ Bukankah kita melihat di dalam firman-Nya, ‘Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya.’” (Tafsir ath-Thabari, jld 3, hal 7.)
5) Tafsiran firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berbunyi, “Segala sesuatu pasti binasa kecuali WAJAH-Nya” (QS. al-Qashash: 88), dan juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berbunyi, “Dan tetap kekal WAJAH Tuhanmu, yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan” (QS. ar-Rahman: 27),
Ath-Thabari berkata, “Mereka berselisih tentang makna firman-Nya, ‘kecuali WAJAH-Nya’. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa yang dimaksud ialah, segala sesuatu pasti binasa 'KECUALI DIA'. Sementara sebagian lain berkata bahwa maknanya ialah, 'kecuali yang dikehendaki wajah-Nya', dan mereka mengutip sebuah syair untuk mendukung takwil mereka, “Saya memohon ampun kepada Allah dari dosa yang saya tidak mampu menghitungnya Tuhan, yang kepada-Nya lah wajah dan amal dihadapkan.” (Tafsir ath-Thabari, jld 2, hal 82).
Al-Baghawai berkata, “Yang dimaksud dengan ‘kecuali wajah-Nya’ ialah ‘kecuali Dia’. Ada juga yang mengatakan, ‘kecuali kekuasaan-Nya’.”
Abul ‘lyalah berkata, “Yang dimaksud ialah ‘kecuali yang dikehendaki wajah-Nya’.” (Tafsir al-Baghawi).
Di dalam kitab ad-Durr al-Mantsur, dari Ibnu Abbas yang berkata, “ertinya ialah ‘kecuali yang dikehendaki wajah-Nya’.” Dari Mujahid yang berkata, “Yang dimaksud ialah ‘kecuali yang dikehendaki wajah-Nya.’”
Dari Sufyan yang berkata, “Yang dimaksud ialah ‘kecuali yang dikehendaki wajah-Nya, dari amal perbuatan yang saleh’.”
Ibnu Abbas ra. adalah seorang sahabat. Mujahid adalah seorang tabi’în. Ibnu Jarir, ath-Thabari adalah Ulama Tafsir kalangan Salaf…
SEBAHAGIAN salaf, termasuk Ibnu Abbas mentakwil ayat-ayat Al-Quran. KEBANYAKAN Salaf lebih memilih Tafwidh tetapi tidak mengkafirkan SEBAHAGIAN yang bermanhaj Ta’wil.
3. Kaedah ITHBAT MAKNA. (Pegang zahir ayat)
Imam al-Qurthubi menuliskan dalam Tafsir nya: "Dan sebahagian mereka berkata : “kami bacakan dan kami tafsirkan menurut zahir bahasa (lughat)”, dan ini golongan Musyabbihah".
Kaedah ITHBAT MAKNA ialah beriman kepada sesuatu sifat Allah sebagaimana yang dikhabarkan oleh al-Qur’an dengan "difahami maknanya". “Difahami maknanya” bererti diketahui makna sifat tersebut mengikut apa yang lazim dalam bahasa Arab.
Kaedah ITHBAT MAKNA ialah menetapkan makna ayat secara pasti mengikut makna zohir.
Oleh itu, kalimah Istawa difahami seperti berikut:
* Dimaknakan/diterjemah kalimah Istawa kepada JALASA/DUDUK/BERSEMAYAM.
Imam al-Qurthubi mengatakan ia adalah kaum Musyabbihah. Kerana dalam kaedah ini berlaku "menyerupakan Allah dengan makhluk"
Al-Imam al-Shafi`e radiyallahu `anhu (wafat 204 H) mengatakan :
مَنِ اعَقَدَ أَنَّ اللّهَ جَالِسٌ عَلَى العَرشِ فَهُوَ كَافِرٌ فَلَا تَصِحُّ الصَّلَاةُ خَلفَهُ
Maksudnya: "Sesiapa yang meyakini Allah jalis (duduk/bersemayam) atas Arasy, maka dia telah kafir, maka tidak sah bermakmum solat kepada orang tersebut". (Kifayah an-Nabih Syarah at-Tanbih karya Ibn ar-Rif'ah,Juz 4 hal 24 cetakan Dar al-Kutub)
KAEDAH ITHBAT MAKNA DITOLAK kerana dalam kaedah ini berlaku "menyerupakan Allah dengan makhluk".
*
Kesimpulan :
· Untuk memahami nash Mutasyabihat, ulama Salaf menerima 2 kaedah sahaja, Tafwidh makna dan Ta’wil makna.
· Sepakat ulama Salaf menolak kaedah memahami nash Mutasyabihat dengan makna dhohir (Isbat Makna).
· Salaf sebenar MENAFIKAN kaifiyat, TIDAK tafwidh kaifiyat kerana mustahil kaifiyat bagi Allah.
Wallahu a’lam.
*
Link pilihan:
hindari-memahami-ayat-mutasyabihat-pada-makna-zahirnya
Ulama Salaf Dan Khalaf Yang Mentakwil Istawa
Di mana salahnya aqidah fahaman Wahabi Salafi
Kefahaman yang Sahih tentang fahaman SALAF
MEMAHAMI FAHAMAN TAJSIM
Akidah Salafi Wahabi - Isbat Makna Tafwid Kaifiat
Manhaj SALAF Yang Sebenar
http://www.ngaji.web.id/2015/05/tawil-dan-tafwidh-istiwa-dalam-ayat-ar.html
http://www.aswj-rg.com/2013/10/bantahan-dan-jawaban-ilmiah-buat-asrie-shobrie-isu-tafwidh.html
*
Contoh Bid'ah Hasanah oleh Sahabat
*
Ummul Mukminin Aishah r.aha ditanya mengenai solat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada bulan Ramadan, jawab beliau: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah solat melebihi 11 rakaat samada dalam bulan Ramadan atau pun selainnya”. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)
Al-Imam Jalaluddin al-Mahalli telah berkata di dalam kitab “al-Mahalli”, juzuk 1, halaman 217: Maksudnya: "Dan diriwayatkan oleh al-Baihaqi dan selainnya dengan sanad yang sahih seperti yang dikatakan dalam Syarah al-Muhazzab, bahawasanya sahabat-sahabat solat [tarawih] pada zaman `Umar bin al-Khattab radiyallahu`anhu sebanyak 20 rakaat".
Khalifah Umar bin Al Khottob radhiyallahu ‘anhu ketika menganjurkan solat tarawih secara berjama’ah di masjid , beliau berkata,
الْبِدْعَةُ هَذِهِ
“Sebaik-baik bid’ah adalah ini”. [HR. Bukhari no. 2010]
Nabi tidak pernah solat malam melebihi 11 rakaat. Tiba-tiba ada sahabat pada zaman Khalifah Umar buat solat Tarawih 20 rakaat berjamaah di masjid. Sahabat tersebut jelas telah melakukan perkara BID'AH. Mustahil Khalifah Umar tak faham tentang bid'ah. Kenapa Khalifah Umar TIDAK MELARANG dan mengatakan mereka sesat ? Kenapa ?
Perbuatan sahabat tersebut jelas adalah bid'ah kerana mereka buat apa yang Nabi dan Khalifah tidak buat, tetapi ia bid'ah hasanah(terpuji & tidak sesat), Khalifah Umar tidak melarang sahabat tersebut dan tidak mengatakan mereka sesat kerana ia bid'ah hasanah.
Sebenarnya yang tidak mengikuti Khulafa arRasyidin itu orang yang MENOLAK bid’ah hasanah. Khulafa arRasyidin sendiri melakukan dan tidak melarang bid’ah hasanah. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kita mengikuti Khulafaur Rasyidin. Sementara Khulafaur Rasyidin melakukan bid’ah hasanah. Bererti Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kita melakukan bid’ah hasanah. Dengan demikian kami yang berpendapat dengan adanya bid’ah hasanah itu sebenarnya mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan Khulafaur Rasyidin.
Imam Asy Syafie mengatakan : Bid'ah itu dua jenis: "Bid'ah yang dipuji (hasanah) dan bid'ah yang dikeji (dholalah / sesat). Apa yang selari dengan Sunnah itu maka ia dipuji dan apa yang bertentangan dengannya maka ia dikeji." (Diriwayatkan oleh Abu Nu'aim (Lihat Fath al Bari 17/10)
Dalam riwayat lain, Imam Asy Syafie mengatakan : "Perkara-perkara baharu yang diada-adakan itu dua jenis: (pertama) perkara baharu yang bercanggah dengan al Quran atau Sunnah atau athar sahabat atau ijma', maka inilah Bid'ah Dholalah (sesat). Dan (kedua), perkara baharu yang diadakan dari segala kebaikan yang tidak bertentangan dengan mana-mana daripada empat perkara itu, maka ia adalah bid'ah yang bukan keji (hasanah)." (Muhaddathah ghairu mazmumah) (Riwayat al Baihaqi dengan sanad yang sahih di dalam kitabnya Manaqib Syafi'e (lihat Fath Al Bari 17/10)
Dalam pengertian syari’at, bid’ah adalah:
اَلْمُحْدَثُ الَّذِيْ لَمْ يَنُصَّ عَلَيْهِ الْقُرْءَانُ وَلاَ جَاءَ فِيْ السُّـنَّةِ.
“Sesuatu yang baru yang tidak terdapat penyebutannya secara tertulis, baik di dalam al-Qur’an mau pun dalam hadits”. (Sharih al-Bayan, j. 1, h. 278)
Seorang ulama bahasa terkemuka, Abu Bakar Ibn al-‘Arabi menuliskan sebagai berikut:
لَيْسَتْ البِدْعَةُ وَالْمُحْدَثُ مَذْمُوْمَيْنِ لِلَفْظِ بِدْعَةٍ وَمُحْدَثٍ وَلاَ مَعْنَيَيْهِمَا، وَإِنَّمَا يُذَمُّ مِنَ البِدْعَةِ مَا يُخَالِفُ السُّـنَّةَ، وَيُذَمُّ مِنَ الْمُحْدَثَاتِ مَا دَعَا إِلَى الضَّلاَلَةِ.
“Perkara yang baru (Bid’ah atau Muhdats) tidak pasti tercela hanya kerana secara bahasa disebut Bid’ah atau Muhdats, atau dalam pengertian keduanya. Melainkan Bid’ah yang tercela itu adalah perkara baru yang menyalahi sunnah, dan Muhdats yang tercela itu adalah perkara baru yang mengajak kepada kesesatan”.
Wallahu A'lam.
Link pilihan:
Pengertian Bid'ah
Dalil Bid'ah Hasanah
Hakikat Bid'ah Hasanah
Di bahagian mana Imam Asy Syafie mengucapkan pembahagian bid'ah ?
Bid'ah hasanah dan bidah lughatan
Adakah semua bid'ah adalah sesat ?
Kullu Bid`atin - Ust. Luthfi
Segera Menyedari Kesalahan Dalam Memahami Bid’ah
Contoh-contoh bid'ah yang diamalkan para sahabat
Dapat Hadiah Emas
Bid'ah bukan hukum - Video
Bid'ah Hasanah Dan Bid'ah Dholalah - Video
https://www.facebook.com/notes/idolaku-nabi-muhammad-saw/bidah-hasanah-dan-kerancuan-wahabi/10151364417371082
https://www.facebook.com/notes/aqidah-ahlussunnah-allah-ada-tanpa-tempat/supaya-jangan-sembarangan-mengklaim-ahli-bidah-kepada-orang-lain-hakekat-bidah-l/112546762095575
https://assunnahfahamku.wordpress.com/2011/12/28/penjelasan-ulama-masyhur-tentang-bidah
https://generasisalaf.wordpress.com/2013/04/08/bidah-hasanah-dalam-pandangan-imam-syafii
*
Ummul Mukminin Aishah r.aha ditanya mengenai solat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada bulan Ramadan, jawab beliau: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah solat melebihi 11 rakaat samada dalam bulan Ramadan atau pun selainnya”. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)
Al-Imam Jalaluddin al-Mahalli telah berkata di dalam kitab “al-Mahalli”, juzuk 1, halaman 217: Maksudnya: "Dan diriwayatkan oleh al-Baihaqi dan selainnya dengan sanad yang sahih seperti yang dikatakan dalam Syarah al-Muhazzab, bahawasanya sahabat-sahabat solat [tarawih] pada zaman `Umar bin al-Khattab radiyallahu`anhu sebanyak 20 rakaat".
Khalifah Umar bin Al Khottob radhiyallahu ‘anhu ketika menganjurkan solat tarawih secara berjama’ah di masjid , beliau berkata,
الْبِدْعَةُ هَذِهِ
“Sebaik-baik bid’ah adalah ini”. [HR. Bukhari no. 2010]
Nabi tidak pernah solat malam melebihi 11 rakaat. Tiba-tiba ada sahabat pada zaman Khalifah Umar buat solat Tarawih 20 rakaat berjamaah di masjid. Sahabat tersebut jelas telah melakukan perkara BID'AH. Mustahil Khalifah Umar tak faham tentang bid'ah. Kenapa Khalifah Umar TIDAK MELARANG dan mengatakan mereka sesat ? Kenapa ?
Perbuatan sahabat tersebut jelas adalah bid'ah kerana mereka buat apa yang Nabi dan Khalifah tidak buat, tetapi ia bid'ah hasanah(terpuji & tidak sesat), Khalifah Umar tidak melarang sahabat tersebut dan tidak mengatakan mereka sesat kerana ia bid'ah hasanah.
Sebenarnya yang tidak mengikuti Khulafa arRasyidin itu orang yang MENOLAK bid’ah hasanah. Khulafa arRasyidin sendiri melakukan dan tidak melarang bid’ah hasanah. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kita mengikuti Khulafaur Rasyidin. Sementara Khulafaur Rasyidin melakukan bid’ah hasanah. Bererti Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kita melakukan bid’ah hasanah. Dengan demikian kami yang berpendapat dengan adanya bid’ah hasanah itu sebenarnya mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan Khulafaur Rasyidin.
Imam Asy Syafie mengatakan : Bid'ah itu dua jenis: "Bid'ah yang dipuji (hasanah) dan bid'ah yang dikeji (dholalah / sesat). Apa yang selari dengan Sunnah itu maka ia dipuji dan apa yang bertentangan dengannya maka ia dikeji." (Diriwayatkan oleh Abu Nu'aim (Lihat Fath al Bari 17/10)
Dalam riwayat lain, Imam Asy Syafie mengatakan : "Perkara-perkara baharu yang diada-adakan itu dua jenis: (pertama) perkara baharu yang bercanggah dengan al Quran atau Sunnah atau athar sahabat atau ijma', maka inilah Bid'ah Dholalah (sesat). Dan (kedua), perkara baharu yang diadakan dari segala kebaikan yang tidak bertentangan dengan mana-mana daripada empat perkara itu, maka ia adalah bid'ah yang bukan keji (hasanah)." (Muhaddathah ghairu mazmumah) (Riwayat al Baihaqi dengan sanad yang sahih di dalam kitabnya Manaqib Syafi'e (lihat Fath Al Bari 17/10)
Dalam pengertian syari’at, bid’ah adalah:
اَلْمُحْدَثُ الَّذِيْ لَمْ يَنُصَّ عَلَيْهِ الْقُرْءَانُ وَلاَ جَاءَ فِيْ السُّـنَّةِ.
“Sesuatu yang baru yang tidak terdapat penyebutannya secara tertulis, baik di dalam al-Qur’an mau pun dalam hadits”. (Sharih al-Bayan, j. 1, h. 278)
Seorang ulama bahasa terkemuka, Abu Bakar Ibn al-‘Arabi menuliskan sebagai berikut:
لَيْسَتْ البِدْعَةُ وَالْمُحْدَثُ مَذْمُوْمَيْنِ لِلَفْظِ بِدْعَةٍ وَمُحْدَثٍ وَلاَ مَعْنَيَيْهِمَا، وَإِنَّمَا يُذَمُّ مِنَ البِدْعَةِ مَا يُخَالِفُ السُّـنَّةَ، وَيُذَمُّ مِنَ الْمُحْدَثَاتِ مَا دَعَا إِلَى الضَّلاَلَةِ.
“Perkara yang baru (Bid’ah atau Muhdats) tidak pasti tercela hanya kerana secara bahasa disebut Bid’ah atau Muhdats, atau dalam pengertian keduanya. Melainkan Bid’ah yang tercela itu adalah perkara baru yang menyalahi sunnah, dan Muhdats yang tercela itu adalah perkara baru yang mengajak kepada kesesatan”.
Wallahu A'lam.
Link pilihan:
Pengertian Bid'ah
Dalil Bid'ah Hasanah
Hakikat Bid'ah Hasanah
Di bahagian mana Imam Asy Syafie mengucapkan pembahagian bid'ah ?
Bid'ah hasanah dan bidah lughatan
Adakah semua bid'ah adalah sesat ?
Kullu Bid`atin - Ust. Luthfi
Segera Menyedari Kesalahan Dalam Memahami Bid’ah
Contoh-contoh bid'ah yang diamalkan para sahabat
Dapat Hadiah Emas
Bid'ah bukan hukum - Video
Bid'ah Hasanah Dan Bid'ah Dholalah - Video
https://www.facebook.com/notes/idolaku-nabi-muhammad-saw/bidah-hasanah-dan-kerancuan-wahabi/10151364417371082
https://www.facebook.com/notes/aqidah-ahlussunnah-allah-ada-tanpa-tempat/supaya-jangan-sembarangan-mengklaim-ahli-bidah-kepada-orang-lain-hakekat-bidah-l/112546762095575
https://assunnahfahamku.wordpress.com/2011/12/28/penjelasan-ulama-masyhur-tentang-bidah
https://generasisalaf.wordpress.com/2013/04/08/bidah-hasanah-dalam-pandangan-imam-syafii
*
Kaum MAJORITI
*
Siapakah Kaum Majoriti ?
وَالَّذِىْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ, لَتَفْتَرِقُ اُمَّتِى عَلىَ ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً. فَوَاحِدَةً فى الْجَنَّةُ وَثِنْتَانِ وَسَبْعُوْنَ فِى النَّارِ. قِيْلَ: مَنْ هُمْ يَارَسُوْلُ اللهِ؟ قَالَ: اَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ
(رواه الطبرانى)
Rasulullah SAW bersumpah: "Demi zat yang menguasai jiwa Muhammad, sungguh umatku bakal terpecah menjadi 73 golongan. Maka yang satu golongan masuk syurga, sedangkan yang 72 golongan masuk neraka. Sahabat bertanya: Siapakah golongan (yang masuk Syurga) itu ya Rasulullah? Baginda menjawab: Ahlus sunnah Wal jamaah” (HR. al-Tabrani)
Ulasan Ishaq ibn Rahawaih, seorang ulama Salaf yang terkemuka: “Al-Jama’ah itu adalah para ulama yang berpegang pada atsar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan jalannya. Sesiapa bersama mereka dan mengikuti mereka, maka merekalah Al-Jama’ah”. (Hilyatul-Auliyaa’ (9/239).
Imam Asy Syathibi menyimpulkan:
قال الشاطبي : ” وحاصله أن الجماعة راجعة إلى الاجتماع على الإمام الموافق لكتاب الله والسنة ، وذلك ظاهر في أن الاجتماع على غير سنة خارج عن الجماعة المذكورة في الأحاديث المذكورة ؛
“Kesimpulannya, Al Jama’ah adalah bersatunya umat pada imam yang sesuai dengan Kitabullah dan Sunnah.” (Al I’tisham 2/260-265, dinukil dari Fatwa Lajnah Ad Daimah 76/276)
Al-Jama’ah atau Ahlus Sunnah Waljamaah adalah para ulama yang benar dan orang yang bersama dan mengikuti mereka.
Al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullah dalam Kitab Fathul Bari XII/37 menukil perkataan Imam Thabari rahimahullah yang menyatakan: “Berkata para ulama, bahwa Al-Jama’ah atau Ahlus Sunnah Waljamaah adalah As-sawadul a’zham (majoriti)".
As-sawadul a’zham adalah "majoriti ulama dan orang yang bersama mereka".
Asya`irah dan Al-Maturidiyyah telah diikuti oleh "majoriti ulama dan orang yang bersama mereka"
*
Berkata As-Sheikh Muhammad Amin yang terkenal dengan gelaran Ibnu Abidin di dalam kitab terkenal beliau yang berjudul Rad Al-Muhtar `Ala Ad-Duraril Mukhtar: "Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah Asya`irah (pengikut Abu al-Hasan Al-Asya`ri) dan Al-Maturidiyyah (pengikut Abu Mansur Al-Maturidi)". Perkara yang sama juga disebut oleh al-Hafiz Murtadha az-Zabidi di dalam kitab Ithaf as-Sadah al-Muttaqin.
Al-Syeikh Prof Dr. Ali Juma`ah, mufti Mesir, menjelaskan tentang mazhab Ahlus Sunnah Wal Jama`ah di dalam kitabnya al-Bayan lima Yashghul al-Azham, mengatakan: "Mazhab Ahlus Sunnah Wal Jama`ah – al-Asya`irah dan al-Maturidiyyah- adalah mazhab yang jelas pada keseluruhan bab-bab tauhid, namun banyak orang-orang yang mengingkarinya ialah orang-orang yang jahil terhadap mazhab tersebut yang sebenar pada masalah iman kepada Allah."
*
Kebenaran al-Asya`irah Dan Al-Maturidiyyah Disokong Oleh Al-Quran Dan Hadith
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ مَن يَرْتَدَّ مِنكُمْ عَن دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللّهِ وَلاَ يَخَافُونَ لَوْمَةَ لآئِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللّهِ يُؤْتِيهِ مَن يَشَاءُ وَاللّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ) المائدة :54
Mafhumnya : "Wahai orang-orang yang beriman, sesiapa yang murtad daripada agamanya (Islam) maka Allah akan mendatangkan satu kaum yang mana Allah mencintai mereka dan mereka mencintai Allah, yang bersikap lemah-lembut terhadap orang-orang yang beriman dan bersikap tegas terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah dan tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah kurniaan Allah diberikan kepada sesiapa yang dikehendakiNya dan Allah maha luas pemberiannya lagi Maha Mengetahui". ( Al-Maidah:54 ).
Al-Hafiz Ibn `Asakir di dalam kitabnya (تبيين الكذب المفتري) dan al-Hakim dalam al-Mustadrak meriwayatkan bahawasanya tatkala turun ayat ini, Rasulullah mengisyaratkan kepada Abu Musa Al-Asy`ari dengan bersabda:
هم قوم هذا
Mafhumnya : "Mereka (yang dimaksudkan di dalam ayat tadi ) adalah kaum ini". Berkata Imam al-Qusyairi :
"Pengikut Abu al-Hasan al-Asy`ari adalah termasuk kaumnya kerana setiap tempat yang disandarkan perkataan kaum oleh nabi ia membawa maksud pengikut. Perkara ini disebut oleh Imam al-Qurtubiy di dalam kitab tafsirnya.(rujuk kitab tersebut jilid 6 halaman 220).
Berkata al-Hafiz al-Baihaqi :
"Perkara ini adalah kerana wujudnya kelebihan yang mulia dan martabat yang tinggi bagi imam Abu al-Hasan al-Asy`ari semoga Allah meredhainya. Dia adalah daripada kaum Abu Musa dan anak-anaknya dianugerahkan ilmu pengetahuan, diberikan kefahaman secara khusus dikalangan mereka dengan menguatkan sunnah, membasmi bid`ah dengan mengeluarkan hujah dan membantah penyelewengan. Perkara ini disebut oleh al-Hafiz Ibn `Asakir di dalam kitab (تبيين الكذب المفتري).
Imam Bukhari, seorang yang berstatus amir al-mukminin dalam bidang hadith menyebutkan di dalam sahihnya pada bab ((باب قدوم الأشعريين وأهل اليمن)). Baginda bersabda kepada Abu Musa :
هم مني وأنا منهم
Mafhumnya : "mereka sebahagian daripadaku, aku pula sebahagian daripada mereka".
*
Senarai Ulama Yang Berpegang Dengan aliran Asya`irah
Menurut ulama al-muhaqqiqun majoriti umat Islam bermula daripada salaf dan khalaf sama ada dalam apa jua bidang pun, baik akidah, fiqh, al-Quran, tafsir, hadith, tasauf, bahasa arab, nahu, sorof, adab dan lain-lainnya kesemuanya dalam hal keyakinan dan akidah selari dengan akidah al-Asya`irah dan al-Maturidiyah.
Di antara golongan al-huffaz yang merupakan pemuka para muhaddithin dan berpegang dengan akidah ini :
1. Al-Hafidz Abu Bakar Al-Ismaily, tuan punya kitab (المستخرخ على البخاري). Beliau merupakan seorang pakar hadith yang paling masyhur pada zamannya.
2. Al-Hafiz al-`Alim Abu Bakar Al-Baihaqi, juga seorang pakar hadith yang paling masyhur pada zamannya.
3. Al-Hafiz yang disifatkan sebagai sebaik-baik muhaddithin di Negara Syam pada zamannya iaitu al-Hafiz Ibn `Asakir.
4. Amir al-Mukminin dalam bidang hadith, Ahmad Ibn Hajar al-`Asqalani.
Ramai ulama muktabar yang mengikut manhaj ini :
1. Imam Abu Hassan al-Baahili
2. Abu Bakar ibn Furak
3. Abu Bakar al-Baqillani
4. Abu Ishaq al-Isfarayiini
5. Al-Hafiz Abu Nu`aim al-Asbahani
6. Qadhi Abdul Wahab al-Maliki
7. As-Syeikh Abu Muhammad al-Juwaini serta anaknya Abu al-Ma`ali. Kedua-duanya dikenali sebagai Imam al-Haramain.
8. Abu Mansur at-Tamimi al-Baghdadi.
9. Al-Hafiz ad-Darulquthni.
10. Al-Hafiz al-Khatib al-Baghdadi.
11. Al-Ustaz Abu Al-Qasim al-Qusyairi serta anaknya Abu Nasr.
12. Asy-Syeikh Abu Ishaq as-Syirozi,
13. Nasru al-Maqdisi
14. Al-Farawi
15. Abu al-Wafa` bin `Aqil al-Hanbali
16. Qadhi ad-Daamighani al-Hanafi
17. Abu-al-Walid al-Baaji al-Maliki
18. Al-Imam as-Sayid Ahmad ar-Rifa`ie
19. Al-Hafiz Abu Qasim Ibnu `Asakir
20. Ibnu as-Sam`ani
21. Al-Qadhi `Iyadh al-Maliki
22. Al-Hafiz as-Salafi
23. Al-Hafiz an-Nawawi
24. Imam Fakhruddin ar-Razi
25. `Izzuddin bin Abdussalam
26. Abu Amru bin al-hajib al-Maliki
27. Al-Hafiz Ibn Daqiq al-`ed
28. `Ala ad-Deen al-Baaji
29. Al-Hafiz al-Mujtahid Qadi al-Qudhat al-Imam Taqiyuddin As-Subki dan anaknya Tajudeen al-Subki.
30. Al-Hafiz al-`Alai
31. Al-Hafiz Zainuddin al-`iraqi serta anaknya al-Hafiz Waliyuddin al-Iraqi
32. Al-Hafidz al-Lughawi Murtadha Az-Zabidi al-Hanafi
33. As-Syeikh Zakaria al-Ansari
34. As-Syeikh Bahauddin Ar-Rawwasi As-Sufi
35. Mufti Mekah Ahmad Bin Zaini Dahlan
36. Musnid al-Hindi Waliullah ad-Dahlawi
37. Mufti Mesir As-Syeikh Muhammad `illaish Al-Maliki
38. Sheikh Jamik Al-Azhar Abdullah As-Syarqawi,
39. Seorang ulama sanad hadith yang terkenal ; As-Syeikh Abu Al-Mahasin Al-Qawuqji,
40. As-Syeikh al-Husain al-Jisr at-Tarabulusi
41. As-Syeikh `Abdul Latif Fathul Allah, mufti Beirut
42. As-Syeikh `Abdul Baasith al-Fakhuri, mufti Beirut
43. As-Syeikh al-Muhaddith Muhammad Bin Darwish al-Hut al-Beiruti dan anaknya `Abdul Rahman, Ketua al-Asyraf di Beirut.
44. As-Syeikh Mushthofa Naja, Mufti Beirut
45. Al-Qadhi yang dihormati ibn Farhun al-Maliki
46. Abu Fath as-Syahristani
47. Al-Imam Abu Bakar Asy-Syasyi al-Qaffal
48. Abu `Ali Ad-Daqqaq An-Naisaburi
49. Al-Hakim An-Naisaburi, Tuan punya kitab Mustadrak.
50. As-Syeikh Abu Manshur al-Hudhudi,
51. As-Syeikh Abu `Abdullah as-Sanusi,
52. As-Syeikh Muhammmad bin `Alan as-Shadiqi as-Syafi`e.
53. Al-`Allamah `Alawi bin Tahir al-Hadhrami al-Haddad.
54. Al-`Allamah al-Muhaqqiq al-Habib bin Husain bin `Abdullah Balfaqih, dan semua ulama Hadramaut dari keturunan `Alawi, al-Saqqaf, al-Juneid, dan al-`Idrus.
55. Al-Hafiz al-Faqih al-Allamah al-Arif Billah al-Syiekh Abdullah al-Harari al-Habasyi.
56. Sheikh Sirojiddin Abbas Al-Indunisi
57. Musnid Syeikh Yasin al-Fadani
58. Dan ramai lagi..
*
Kaum Majoriti adalah golongan al-Asya`irah dan al-Maturidiyyah.
Buatlah pilihan yang tepat. Hidayah itu anugerah ALLAH.
Wallahu A'lam.
Link Pilihan :
Pilihan Majoriti Ulama - Mufti Wilayah Persekutuan -> https://www.facebook.com/british.burn/posts/633026966745586
Kebenaran dan Majoriti dalam Islam -> https://www.facebook.com/sawanih/photos/a.558069754360335.1073741828.558058371028140/592771087556868
Golongan Ahlus Sunnah Waj Jamaah -> http://lenggangkangkung-my.blogspot.com/2013/07/ahlus-sunnah-wal-jamaah.html
IMAM Syafi`e Menghukum KAFIR Orang Yang Mengatakan Allah duduk Atas Arasy ->
http://lenggangkangkung-my.blogspot.com/2016/09/imam-syafie-menghukum-kafir-orang-yang.html
Dimana salahnya akidah fahaman Salafi Wahabi ? -> http://lenggangkangkung-my.blogspot.com/2016/04/di-mana-salahnya-aqidah-fahaman-wahhabi.html
*
Siapakah Kaum Majoriti ?
وَالَّذِىْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ, لَتَفْتَرِقُ اُمَّتِى عَلىَ ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً. فَوَاحِدَةً فى الْجَنَّةُ وَثِنْتَانِ وَسَبْعُوْنَ فِى النَّارِ. قِيْلَ: مَنْ هُمْ يَارَسُوْلُ اللهِ؟ قَالَ: اَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ
(رواه الطبرانى)
Rasulullah SAW bersumpah: "Demi zat yang menguasai jiwa Muhammad, sungguh umatku bakal terpecah menjadi 73 golongan. Maka yang satu golongan masuk syurga, sedangkan yang 72 golongan masuk neraka. Sahabat bertanya: Siapakah golongan (yang masuk Syurga) itu ya Rasulullah? Baginda menjawab: Ahlus sunnah Wal jamaah” (HR. al-Tabrani)
Ulasan Ishaq ibn Rahawaih, seorang ulama Salaf yang terkemuka: “Al-Jama’ah itu adalah para ulama yang berpegang pada atsar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan jalannya. Sesiapa bersama mereka dan mengikuti mereka, maka merekalah Al-Jama’ah”. (Hilyatul-Auliyaa’ (9/239).
Imam Asy Syathibi menyimpulkan:
قال الشاطبي : ” وحاصله أن الجماعة راجعة إلى الاجتماع على الإمام الموافق لكتاب الله والسنة ، وذلك ظاهر في أن الاجتماع على غير سنة خارج عن الجماعة المذكورة في الأحاديث المذكورة ؛
“Kesimpulannya, Al Jama’ah adalah bersatunya umat pada imam yang sesuai dengan Kitabullah dan Sunnah.” (Al I’tisham 2/260-265, dinukil dari Fatwa Lajnah Ad Daimah 76/276)
Al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullah dalam Kitab Fathul Bari XII/37 menukil perkataan Imam Thabari rahimahullah yang menyatakan: “Berkata para ulama, bahwa Al-Jama’ah atau Ahlus Sunnah Waljamaah adalah As-sawadul a’zham (majoriti)".
As-sawadul a’zham adalah "majoriti ulama dan orang yang bersama mereka".
Asya`irah dan Al-Maturidiyyah telah diikuti oleh "majoriti ulama dan orang yang bersama mereka"
*
Berkata As-Sheikh Muhammad Amin yang terkenal dengan gelaran Ibnu Abidin di dalam kitab terkenal beliau yang berjudul Rad Al-Muhtar `Ala Ad-Duraril Mukhtar: "Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah Asya`irah (pengikut Abu al-Hasan Al-Asya`ri) dan Al-Maturidiyyah (pengikut Abu Mansur Al-Maturidi)". Perkara yang sama juga disebut oleh al-Hafiz Murtadha az-Zabidi di dalam kitab Ithaf as-Sadah al-Muttaqin.
Al-Syeikh Prof Dr. Ali Juma`ah, mufti Mesir, menjelaskan tentang mazhab Ahlus Sunnah Wal Jama`ah di dalam kitabnya al-Bayan lima Yashghul al-Azham, mengatakan: "Mazhab Ahlus Sunnah Wal Jama`ah – al-Asya`irah dan al-Maturidiyyah- adalah mazhab yang jelas pada keseluruhan bab-bab tauhid, namun banyak orang-orang yang mengingkarinya ialah orang-orang yang jahil terhadap mazhab tersebut yang sebenar pada masalah iman kepada Allah."
*
Kebenaran al-Asya`irah Dan Al-Maturidiyyah Disokong Oleh Al-Quran Dan Hadith
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ مَن يَرْتَدَّ مِنكُمْ عَن دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللّهِ وَلاَ يَخَافُونَ لَوْمَةَ لآئِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللّهِ يُؤْتِيهِ مَن يَشَاءُ وَاللّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ) المائدة :54
Mafhumnya : "Wahai orang-orang yang beriman, sesiapa yang murtad daripada agamanya (Islam) maka Allah akan mendatangkan satu kaum yang mana Allah mencintai mereka dan mereka mencintai Allah, yang bersikap lemah-lembut terhadap orang-orang yang beriman dan bersikap tegas terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah dan tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah kurniaan Allah diberikan kepada sesiapa yang dikehendakiNya dan Allah maha luas pemberiannya lagi Maha Mengetahui". ( Al-Maidah:54 ).
Al-Hafiz Ibn `Asakir di dalam kitabnya (تبيين الكذب المفتري) dan al-Hakim dalam al-Mustadrak meriwayatkan bahawasanya tatkala turun ayat ini, Rasulullah mengisyaratkan kepada Abu Musa Al-Asy`ari dengan bersabda:
هم قوم هذا
Mafhumnya : "Mereka (yang dimaksudkan di dalam ayat tadi ) adalah kaum ini". Berkata Imam al-Qusyairi :
"Pengikut Abu al-Hasan al-Asy`ari adalah termasuk kaumnya kerana setiap tempat yang disandarkan perkataan kaum oleh nabi ia membawa maksud pengikut. Perkara ini disebut oleh Imam al-Qurtubiy di dalam kitab tafsirnya.(rujuk kitab tersebut jilid 6 halaman 220).
Berkata al-Hafiz al-Baihaqi :
"Perkara ini adalah kerana wujudnya kelebihan yang mulia dan martabat yang tinggi bagi imam Abu al-Hasan al-Asy`ari semoga Allah meredhainya. Dia adalah daripada kaum Abu Musa dan anak-anaknya dianugerahkan ilmu pengetahuan, diberikan kefahaman secara khusus dikalangan mereka dengan menguatkan sunnah, membasmi bid`ah dengan mengeluarkan hujah dan membantah penyelewengan. Perkara ini disebut oleh al-Hafiz Ibn `Asakir di dalam kitab (تبيين الكذب المفتري).
Imam Bukhari, seorang yang berstatus amir al-mukminin dalam bidang hadith menyebutkan di dalam sahihnya pada bab ((باب قدوم الأشعريين وأهل اليمن)). Baginda bersabda kepada Abu Musa :
هم مني وأنا منهم
Mafhumnya : "mereka sebahagian daripadaku, aku pula sebahagian daripada mereka".
*
Senarai Ulama Yang Berpegang Dengan aliran Asya`irah
Menurut ulama al-muhaqqiqun majoriti umat Islam bermula daripada salaf dan khalaf sama ada dalam apa jua bidang pun, baik akidah, fiqh, al-Quran, tafsir, hadith, tasauf, bahasa arab, nahu, sorof, adab dan lain-lainnya kesemuanya dalam hal keyakinan dan akidah selari dengan akidah al-Asya`irah dan al-Maturidiyah.
Di antara golongan al-huffaz yang merupakan pemuka para muhaddithin dan berpegang dengan akidah ini :
1. Al-Hafidz Abu Bakar Al-Ismaily, tuan punya kitab (المستخرخ على البخاري). Beliau merupakan seorang pakar hadith yang paling masyhur pada zamannya.
2. Al-Hafiz al-`Alim Abu Bakar Al-Baihaqi, juga seorang pakar hadith yang paling masyhur pada zamannya.
3. Al-Hafiz yang disifatkan sebagai sebaik-baik muhaddithin di Negara Syam pada zamannya iaitu al-Hafiz Ibn `Asakir.
4. Amir al-Mukminin dalam bidang hadith, Ahmad Ibn Hajar al-`Asqalani.
Ramai ulama muktabar yang mengikut manhaj ini :
1. Imam Abu Hassan al-Baahili
2. Abu Bakar ibn Furak
3. Abu Bakar al-Baqillani
4. Abu Ishaq al-Isfarayiini
5. Al-Hafiz Abu Nu`aim al-Asbahani
6. Qadhi Abdul Wahab al-Maliki
7. As-Syeikh Abu Muhammad al-Juwaini serta anaknya Abu al-Ma`ali. Kedua-duanya dikenali sebagai Imam al-Haramain.
8. Abu Mansur at-Tamimi al-Baghdadi.
9. Al-Hafiz ad-Darulquthni.
10. Al-Hafiz al-Khatib al-Baghdadi.
11. Al-Ustaz Abu Al-Qasim al-Qusyairi serta anaknya Abu Nasr.
12. Asy-Syeikh Abu Ishaq as-Syirozi,
13. Nasru al-Maqdisi
14. Al-Farawi
15. Abu al-Wafa` bin `Aqil al-Hanbali
16. Qadhi ad-Daamighani al-Hanafi
17. Abu-al-Walid al-Baaji al-Maliki
18. Al-Imam as-Sayid Ahmad ar-Rifa`ie
19. Al-Hafiz Abu Qasim Ibnu `Asakir
20. Ibnu as-Sam`ani
21. Al-Qadhi `Iyadh al-Maliki
22. Al-Hafiz as-Salafi
23. Al-Hafiz an-Nawawi
24. Imam Fakhruddin ar-Razi
25. `Izzuddin bin Abdussalam
26. Abu Amru bin al-hajib al-Maliki
27. Al-Hafiz Ibn Daqiq al-`ed
28. `Ala ad-Deen al-Baaji
29. Al-Hafiz al-Mujtahid Qadi al-Qudhat al-Imam Taqiyuddin As-Subki dan anaknya Tajudeen al-Subki.
30. Al-Hafiz al-`Alai
31. Al-Hafiz Zainuddin al-`iraqi serta anaknya al-Hafiz Waliyuddin al-Iraqi
32. Al-Hafidz al-Lughawi Murtadha Az-Zabidi al-Hanafi
33. As-Syeikh Zakaria al-Ansari
34. As-Syeikh Bahauddin Ar-Rawwasi As-Sufi
35. Mufti Mekah Ahmad Bin Zaini Dahlan
36. Musnid al-Hindi Waliullah ad-Dahlawi
37. Mufti Mesir As-Syeikh Muhammad `illaish Al-Maliki
38. Sheikh Jamik Al-Azhar Abdullah As-Syarqawi,
39. Seorang ulama sanad hadith yang terkenal ; As-Syeikh Abu Al-Mahasin Al-Qawuqji,
40. As-Syeikh al-Husain al-Jisr at-Tarabulusi
41. As-Syeikh `Abdul Latif Fathul Allah, mufti Beirut
42. As-Syeikh `Abdul Baasith al-Fakhuri, mufti Beirut
43. As-Syeikh al-Muhaddith Muhammad Bin Darwish al-Hut al-Beiruti dan anaknya `Abdul Rahman, Ketua al-Asyraf di Beirut.
44. As-Syeikh Mushthofa Naja, Mufti Beirut
45. Al-Qadhi yang dihormati ibn Farhun al-Maliki
46. Abu Fath as-Syahristani
47. Al-Imam Abu Bakar Asy-Syasyi al-Qaffal
48. Abu `Ali Ad-Daqqaq An-Naisaburi
49. Al-Hakim An-Naisaburi, Tuan punya kitab Mustadrak.
50. As-Syeikh Abu Manshur al-Hudhudi,
51. As-Syeikh Abu `Abdullah as-Sanusi,
52. As-Syeikh Muhammmad bin `Alan as-Shadiqi as-Syafi`e.
53. Al-`Allamah `Alawi bin Tahir al-Hadhrami al-Haddad.
54. Al-`Allamah al-Muhaqqiq al-Habib bin Husain bin `Abdullah Balfaqih, dan semua ulama Hadramaut dari keturunan `Alawi, al-Saqqaf, al-Juneid, dan al-`Idrus.
55. Al-Hafiz al-Faqih al-Allamah al-Arif Billah al-Syiekh Abdullah al-Harari al-Habasyi.
56. Sheikh Sirojiddin Abbas Al-Indunisi
57. Musnid Syeikh Yasin al-Fadani
58. Dan ramai lagi..
*
Kaum Majoriti adalah golongan al-Asya`irah dan al-Maturidiyyah.
Buatlah pilihan yang tepat. Hidayah itu anugerah ALLAH.
Wallahu A'lam.
Link Pilihan :
Pilihan Majoriti Ulama - Mufti Wilayah Persekutuan -> https://www.facebook.com/british.burn/posts/633026966745586
Kebenaran dan Majoriti dalam Islam -> https://www.facebook.com/sawanih/photos/a.558069754360335.1073741828.558058371028140/592771087556868
Golongan Ahlus Sunnah Waj Jamaah -> http://lenggangkangkung-my.blogspot.com/2013/07/ahlus-sunnah-wal-jamaah.html
IMAM Syafi`e Menghukum KAFIR Orang Yang Mengatakan Allah duduk Atas Arasy ->
http://lenggangkangkung-my.blogspot.com/2016/09/imam-syafie-menghukum-kafir-orang-yang.html
Dimana salahnya akidah fahaman Salafi Wahabi ? -> http://lenggangkangkung-my.blogspot.com/2016/04/di-mana-salahnya-aqidah-fahaman-wahhabi.html
*
Makna “Kun Fayakun”
*
Dalam al-Qur’an, Allah berfirman: “Inama Amruhu Idza Arada Sya’ian An Yaqula Lahu Kun Fayakun” (Surah Yasin: ayat 82)
Dari Tafsir Ibnu Katsir : Yakni sesungguhnya Allah memerintahkan kepada sesuatu hanya dengan satu perintah, tidak perlu diulang atau ditegaskan. (Tafsir Ibnu Katsir )
Seperti apa yang dipelajari dari Kitab-kitab Tauhid yang Muktabar, mengenai Allah itu bersifat Kalam, diketahui bahawa Allah Taala itu berkata-kata dengan tidak berhuruf dan tidak bersuara.
MUSTAHIL bagi Allah Taala BERKATA-KATA MENYEBUT “Kun Fayakun”.
Maha Suci Allah dari berkata-kata sesuatu yang menyerupai kata-kata manusia.
Dinyatakan di dalam Kitab AsySyarhul Qawwim Fi Halli Al-Fazi Assiratil Mustaqim, bagi Asy-Syaikh Abdullah Al-Harari Al-Ma’ruf Bil Habasiyyi, m/s 141 :
Dan, hanya sesungguhnya makna ini ayat bahawa, Allah Taala mengadakan segala benda dengan ketiadaan penat, dan kesusahan, dan dengan ketiadaan halangan dari seseorang kepada Allah.
Iaitu, sesungguhnya Allah Taala menjadikan akan benda-benda yang Dia kehendaki, bahawa Dia jadikan akan benda itu dengan bersegera, lagi dengan ketiadaan terlewat, daripada waktu yang Dia kehendaki adanya benda itu, pada waktu tertentu itu.
Maka adapun, makna,
Ertinya, “Jadilah, maka jadilah ia.”
Ia menunjukkan di atas segera mengadakan.
Kemudian, adalah perkataan, “Kun” itu bahasa ‘Arab. Sedangkan Allah Taala itu, telah ada sebelum adanya bahasa-bahasa makhluq semuanya. Dan, Allah Taala telah ada sebelum adanya berbagai-bagai bangsa makhluq.
Dan, demi sesungguhnya, berkatalah Qaum Ahlus Sunnah Wal Jamaah (Al-Asya’irah), “Kalaulah ada Allah Taala itu berkata-kata dengan huruf dan suara, nescaya Allah Taala berlaku di atasnya segala sifat-sifat kemakhluqan, seperti bergerak, dan diam, dan sejuk, dan kering, dan berwarna-warni, dan ada bauan tertentu, dan rasa tertentu, dan lain-lain lagi. Sedangkan, ini semua adalah Mustahil bagi Allah.”
Dan, bermula Allah Taala menjadikan sebahagian daripada ‘Alam atau Makhluq itu bergerak-gerak pada satu ketika, dan diam pada satu ketika, mereka itulah manusia dan jin dan malaikat, dan angin, dan cahaya, dan gelap, dan bayang-bayang.
Sedangkan Allah Taala, langsung tidak menyerupai akan sesuatu pun daripada ini ‘Alam atau makhluq kesemuanya.
Wallahu a'lam.
Disunting dari http://jamaluddinab.blogspot.my/2011/02/taubat-si-jemaah-tabligh-2-tentang-ayat.html
*
Dalam al-Qur’an, Allah berfirman: “Inama Amruhu Idza Arada Sya’ian An Yaqula Lahu Kun Fayakun” (Surah Yasin: ayat 82)
Dari Tafsir Ibnu Katsir : Yakni sesungguhnya Allah memerintahkan kepada sesuatu hanya dengan satu perintah, tidak perlu diulang atau ditegaskan. (Tafsir Ibnu Katsir )
Seperti apa yang dipelajari dari Kitab-kitab Tauhid yang Muktabar, mengenai Allah itu bersifat Kalam, diketahui bahawa Allah Taala itu berkata-kata dengan tidak berhuruf dan tidak bersuara.
MUSTAHIL bagi Allah Taala BERKATA-KATA MENYEBUT “Kun Fayakun”.
Maha Suci Allah dari berkata-kata sesuatu yang menyerupai kata-kata manusia.
Dinyatakan di dalam Kitab AsySyarhul Qawwim Fi Halli Al-Fazi Assiratil Mustaqim, bagi Asy-Syaikh Abdullah Al-Harari Al-Ma’ruf Bil Habasiyyi, m/s 141 :
Dan, hanya sesungguhnya makna ini ayat bahawa, Allah Taala mengadakan segala benda dengan ketiadaan penat, dan kesusahan, dan dengan ketiadaan halangan dari seseorang kepada Allah.
Iaitu, sesungguhnya Allah Taala menjadikan akan benda-benda yang Dia kehendaki, bahawa Dia jadikan akan benda itu dengan bersegera, lagi dengan ketiadaan terlewat, daripada waktu yang Dia kehendaki adanya benda itu, pada waktu tertentu itu.
Maka adapun, makna,
Ertinya, “Jadilah, maka jadilah ia.”
Ia menunjukkan di atas segera mengadakan.
Kemudian, adalah perkataan, “Kun” itu bahasa ‘Arab. Sedangkan Allah Taala itu, telah ada sebelum adanya bahasa-bahasa makhluq semuanya. Dan, Allah Taala telah ada sebelum adanya berbagai-bagai bangsa makhluq.
Dan, demi sesungguhnya, berkatalah Qaum Ahlus Sunnah Wal Jamaah (Al-Asya’irah), “Kalaulah ada Allah Taala itu berkata-kata dengan huruf dan suara, nescaya Allah Taala berlaku di atasnya segala sifat-sifat kemakhluqan, seperti bergerak, dan diam, dan sejuk, dan kering, dan berwarna-warni, dan ada bauan tertentu, dan rasa tertentu, dan lain-lain lagi. Sedangkan, ini semua adalah Mustahil bagi Allah.”
Dan, bermula Allah Taala menjadikan sebahagian daripada ‘Alam atau Makhluq itu bergerak-gerak pada satu ketika, dan diam pada satu ketika, mereka itulah manusia dan jin dan malaikat, dan angin, dan cahaya, dan gelap, dan bayang-bayang.
Sedangkan Allah Taala, langsung tidak menyerupai akan sesuatu pun daripada ini ‘Alam atau makhluq kesemuanya.
Wallahu a'lam.
Disunting dari http://jamaluddinab.blogspot.my/2011/02/taubat-si-jemaah-tabligh-2-tentang-ayat.html
*
Sumber Hukum Dalam Islam bukan Al Qur’an dan Hadis sahaja
*
Sumber hukum Islam yang disepakati jumhur(majoriti) ulama adalah Al Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas.
Jumhur ulama juga sepakat dengan turutan/keutamaan dalil-dalil :
(1. Al Qur’an, 2. Hadis/Sunnah, 3. Ijma’ 4. Qiyas).
Ijma’ ialah persetujuan kesepakatan pendapat dari para mujtahid (para ulama yang mempunyai kemampuan dalam meng-istinbath hukum dari dalil-dalil syara’ ) atas suatu hukum syara’. Ijtihad adalah keputusan seorang ulama mujtahid (sendirian). Jika semua mujtahid yang ramai mempunyai ijtihad yang sama, jadilah ijma’. Ijma’ adalah sandaran hukum, merupakan salah satu sumber hukum di dalam islam ketika tidak ditemukan landasan dalil di dalam Al Qur’an, Hadits. Sedangkan ijtihad bukan sandaran hukum yang wajib diikuti.
Qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya kerana adanya persamaan illat hukum.
Sumber rujukan:
1. Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami.
2. Abdul Wahhab al-Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh.
3. Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh.
Wallahu a'lam.
-> BOLEHKAH TIDAK MAHU IKUT ULAMA’, HANYA IKUT AL-QURAN DAN HADITH? -> https://www.facebook.com/muftins/posts/726502930830596
-> http://makalah-ijma.blogspot.sg/2012/10/kata-pengantar-puji-syukur-kehadirat.html
*
Jumhur ulama juga sepakat dengan turutan/keutamaan dalil-dalil :
(1. Al Qur’an, 2. Hadis/Sunnah, 3. Ijma’ 4. Qiyas).
Ijma’ ialah persetujuan kesepakatan pendapat dari para mujtahid (para ulama yang mempunyai kemampuan dalam meng-istinbath hukum dari dalil-dalil syara’ ) atas suatu hukum syara’. Ijtihad adalah keputusan seorang ulama mujtahid (sendirian). Jika semua mujtahid yang ramai mempunyai ijtihad yang sama, jadilah ijma’. Ijma’ adalah sandaran hukum, merupakan salah satu sumber hukum di dalam islam ketika tidak ditemukan landasan dalil di dalam Al Qur’an, Hadits. Sedangkan ijtihad bukan sandaran hukum yang wajib diikuti.
Qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya kerana adanya persamaan illat hukum.
Sumber rujukan:
1. Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami.
2. Abdul Wahhab al-Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh.
3. Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh.
Wallahu a'lam.
-> BOLEHKAH TIDAK MAHU IKUT ULAMA’, HANYA IKUT AL-QURAN DAN HADITH? -> https://www.facebook.com/muftins/posts/726502930830596
-> http://makalah-ijma.blogspot.sg/2012/10/kata-pengantar-puji-syukur-kehadirat.html
*
Langgan:
Catatan (Atom)
Popular Posts
-
* Dari Abu Darda r.a., Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam bersabda: "Jika sesiapa belajar dengan 'mata hati' dalam 10 ay...
-
* "Sesiapa mengucapkan astaghfirullah hal 'azim al lazi laa ilaha illa huwal hayyul qayyum wa atubu ilaih, akan diampuni dosa...
-
1. Allahumma laka sumtu wa bika aamantu wa ‘alaa rizqika afthartu birahmatika ya arhamarrohimin Maksudnya, "Ya Allah bagi Engkau ...
-
* Solat sunat dua rakaat sebelum solat fardhu Subuh dikenali sebagai Solat Fajar atau Solat Qabliyah Subuh atau Solat Sunat Subuh ....
-
* Jika ditanya Allah ada dimana ? Jawablah: Allah ADA TANPA bertempat, tiada bagi Allah Aina (di mana). (Sumber: ...
-
* Penjelasan Status Hadis Doa Bulan Rejab Hadis Rejab Bulan Allah - Hadis Palsu ? Kelebihan Bulan Rejab *
-
* "Wahai orang-orang yang beriman, telah ditentukan ke atas kamu berpuasa sebagaimana telah ditentukan ke atas umat-umat sebelum kam...
-
* Diterbitkan dan diedar secara percuma oleh: DARUL QURAN WAS-SUNNAH Lot 1499, Taman Seri Demit, Jalan Sultanah Zainab 2 Kubang Keria...
-
* Waktu Solat Dhuha Secara umumnya waktu melakukan solat sunat Dhuha mengikut syarak bermula dari selepas terbit matahari iaitu angga...
-
* Penjelasan Tentang Bid'ah. Dalam pengertian syari’at, bid’ah adalah: اَلْمُحْدَثُ الَّذِيْ لَمْ يَنُصَّ عَلَيْهِ الْقُرْءَانُ ...