"Tiap-tiap diri akan merasai mati. Sesungguhnya akan disempurnakan pahala kamu pada hari kiamat. Sesiapa yang TERSELAMAT DARI NERAKA dan dimasukkan ke dalam syurga, sesungguhnya BERJAYA lah dia, dan ingatlah bahawa kehidupan di dunia ini hanyalah kesenangan yang memperdaya." (Ali Imran : 185)

Azab Terelak

*
Anas ra. berkata, Nabi shallaAllahu `alaihi wa sallam bersabda,  Allah berfirman, "Sesungguhnya Aku merencanakan azab dan seksa bagi penghuni bumi namun bila Aku melihat kepada mereka yang memakmurkan masjid dan mereka yang beristighfar di waktu fajar, Aku elakkan azab yang Ku rencanakan itu." (HR Baihaqi) 


*

Kelebihan Surah Yasin

*
Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesiapa yang membaca surat Yasin pada malam hari, maka pagi harinya dia diampuni oleh Allah. Sesiapa yang membaca surat ad-Dukhan, maka dia diampuni oleh Allah." (HR Abu Ya'la). Menurut al-Hafidz Ibn Katsir, hadits ini sanadnya jayyid (shahih). Komentar Ibn Katsir ini juga dikutip dan diakui oleh al-Imam asy-Syaukani dalam tafsimya Fath al-Qadir, bahwa sanad hadits tersebut jayyid, alias shahih.

Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesiapa yang membaca surat Yasin pada malam hari kerana mencari redha Allah, maka Allah akan mengampuninya." (HR. Ibn Hibban dalam Shahihnya). Hadits ini dishahihkan oleh al-Imam Ibn Hibban dan diakui oleh al-Hafidz Ibn Katsir dalam Tafsirnya, al- Hafidz Jalahiddin as-Suyuthi dalam Tadrib ar-Rawi, dan al-Imam asy-Syaukani dalam tafsir Fath al-Qadir dan al-Fawaid al-Majmu’ah.

Asy-Syaukani berkata dalam al-Fawaid al- Majmu’ah sebagai berikut: "Hadits, "Sesiapa membaca surat Yasin kerana mencari redha Allah, maka Allah akan mengampuninya, diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari Abu Humairah secara marfu’ dan sanadnya sesuai dengan kriteria hadits shahih. Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Abu Nu'aim dan al-Khathib. Sehingga tidak ada alasan merryebut hadits tersebut dalam kitab-kitab al-Maudhu’at (tidak benar menganggapnya sebagai hadits maudhu’)." (Asy-Syaukani, al-Fawaid al-Majmu’ah fi al-Ahadits al-Maudhu’ah halaman 302-303).

Ibn Hibban dalam kitab sahihnya meriwayatkan hadith Jundab bin AbdiLLah, RasuluLlah sallaLLahu 'alaihi wasallam bersabda yang bererti: "Surah al Baqarah adalah tulang belakang al Quran, ia diturunkan oleh lapan puluh malaikat dengan membawa satu persatu ayat. Sedangkan ayat kursi diturunkan dari bawah Arsy'. kemudian ia dikumpulkan dengan ayat-ayat surah al Baqarah. Surah Yasin pula adalah hati al Quran, tidak ada orang yang membacanya dengan mengharap redha Allah dan pahala akhirat melainkan dia akan mendapat ampunan dari-Nya. Bacalah surah Yasin untuk saudara-saudara kamu yang telah meninggal dunia." (Ditakhrij oleh Ibn Hibban di dalam Kitab Sahihnya pada bab Fadhilat Surah al Baqarah. Demikian juga al Haithami meriwayatkannya di dalam kitab Mawarid al Dzam'an, (jilid V, h 397).

Imam Ahmad juga meriwayatkannya di dalam al Musnad dari Ma'qal bin Yasar (jilid v h 26). Al Haithami mengulas hadith tersebut di dalam kitab Majma' al Zawaid, "Hadith tersebut diriwayatkan oleh Imam Ahmad, di dalamnya ada salah seorang perawi yang tidak disebut namanya, bagaimanapun perawi perawi lainnya adalah sahih (jilid VI h 311)

Daripada Anas RadiyaLlahu 'anhu: Sabda Nabi sallaLlahu 'alaihi wasallam:  "Sesungguhnya bagi tiap-tiap sesuatu itu ada jantung (hati), dan jantung (hati) al Quran ialah surah Yasin. Dan sesiapa yang membaca surah Yasin, akan dituliskan Allah baginya dengan membacanya pahala seumpama membaca al Quran sepuluh kali." (HR. at-Tirmizi dan ad-Darimi)

Menurut Imam at Tirmizi darjat hadith ini adalah hasan gharib. Ia telah diriwayatkan oleh lima orang sahabat radiyaLlahu anhum iaitu Abu Bakar as Siddiq, Anas r.a, Abu Hurairah r.a, Ubay bin Kaab r.a dan Ibn Abbas radiyallahu anhuma. Maka dari segi istilah ia bilangan yang cukup menjadi hadith mahsyur. (Rujuk Majalah Q & A Bil 3, m/s 76-77. Dijelaskan oleh Ustaz Mohd Khafidz Bin Soroni (Jabatan Hadith KUIS))

Imam as-Sayuthi dalam kitabnya "Khushushiyyaat Yawmil Jumu`ah" menulis:- Imam al-Baihaqi dalam kitab "asy-Syu`ab" telah mentakhrijkan daripada Abu Hurairah r.a., katanya:- Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam bersabda:- "MAN QARA-A LAILATAL JUMU`ATI HAAMIIM AD-DUKHAAN WA YAASIIN ASHBAHA MAGHFURAN LAHU (Sesiapa yang membaca pada malam Jumaat surah ad-Dukhan dan surah Yasin, maka berpagi-pagilah dia dalam keadaan terampun)".

Al-Ashbihani meriwayatkan dengan lafaz:- "MAN QARA-A YAASIIN FI LAILATIL JUMU`ATI GHUFIRA LAHU ( Sesiapa yang membaca surah Yasin pada malam Jumaat, nescaya diampunkan baginya).


Berkaitan dengan membaca al-Qur'an atau zikir secara berjamaah atau beramai-ramai, al-Imam asy-Syaukani telah menegaskan dalam kitabnya, al-Fath ar-Rabbai fi Fatawa al-Imam asy-Syaukani sebagai berikut: “Ini adalah himpunan ayat-ayat al-Qur'an ketika melihat pertanyaan ini. Dalam ayat-ayat tersebut tidak ada pembatasan zikir dengan cara mengeraskan atau memperlahankan, meninggikan atau merendahkan suara, bersama-sama atau sendirian. Jadi ayat-ayat tersebut memberi pengertian anjuran zikir dengan semua cara tersebut.” (Syaikh asy-Syaukani, Risalah al-Ijtima’ ‘ala adz-Dzikir wa al-Jahr bihi, dalam kitab beliau al-Fath ar-Rabbani min Fatawa al-Imam asy-Syaukani halaman no. 5945).

Pernyataan asy-Syaukani di atas, adalah pernyataan seorang ulama yang mengerti al-Qur'an, hadits dan metode pengambilan hukum dari al-Qur'an dan hadits. Berdasarkan pernyataan asy-Syaukani di atas, membaca al-Qur'an bersama-sama tidak ada masalah, bahkan dianjurkan sesuai dengan ayat-ayat al-Qur’an yang menganjurkan kita memperbanyak zikir kepada Allah.

Wallahu 'alam.




Sumber:

https://www.facebook.com/IslamicMotivationIndonesia/posts/659391567447300

http://jomfaham.blogspot.sg/2012/03/buku-40-hadith-popular-palsu-yang-palsu.html

https://www.facebook.com/notes/kami-tidak-mahu-fahaman-wahhabi-di-malaysia/soal-jawab-hadith-surah-yasin-sebagai-jantung-hati-al-quran/225335527531596

http://bahrusshofa.blogspot.com/2006/08/membaca-yaasiin-malam-jumaat.html

Hukum Membaca Yasin dan tahlil secara berjamaah


*

Hukum Sebut Sayyidina

*

Fuqaha' Syafi'iyah berpendapat sunat menyebut sayyidina ketika berselawat atas alasan penghormatan dan adab.

Imam Asnawi di dalam kitab Al-Muhimmaat mengemukakan ucapan Syeikh Izzud-din bin Abdus-salam, dia berkata : “Pada prinsipnya pembacaan selawat di dalam tasyahhud itu hendaklah ditambah dengan lafaz “sayyidina”, demi mengikuti adab dan menjalankan perintah. Atas yang pertama hukumnya mustahab (sunat).

Dengan demikian di dalam membaca shalawat boleh bagi kita mengucapkan “Allahumma Shalli ‘Ala Sayyidina Muhammad”, meskipun tidak ada pada lafazh-lafazh shalawat yang diajarkan oleh Nabi (ash-Shalawat al Ma'tsurah) dengan penambahan kata “Sayyid”. Karena menyusun dzikir tertentu yang tidak ma'tsur boleh selama tidak bertentangan dengan yang ma'tsur. 

Sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim menambah lafazh talbiyah dari yang sudah diajarkan oleh Rasulullah. Lafazh talbiyah yang diajarkan oleh Nabi adalah:

لَبَّيْكَ اللّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ، لاَ شَرِيْكَ لَكَ
Namun kemudian sabahat Umar ibn al-Khaththab menambahkannya. Dalam bacaan beliau:

لَبَّيْكَ اللّهُمَّ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ ، وَالْخَيْرُ فِيْ يَدَيْكَ، وَالرَّغْبَاءُ إِلَيْكَ وَالْعَمَلُ
Dalil lainnya adalah dari sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar bahwa beliau membuat kalimat tambahan pada Tasyahhud di dalamnya shalatnya. Kalimat Tasyahhud dalam shalat yang diajarkan Rasulullah adalah “Asyhadu An La Ilaha Illah, Wa Asyhadu Anna Muhammad Rasulullah”. Namun kemudian ‘Abdullah ibn ‘Umar menambahkan Tasyahhud pertamanya menjadi:
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ
Tambahan kalimat “Wahdahu La Syarika Lah” sengaja diucapkan oleh beliau. Bahkan tentang ini ‘Abdullah ibn ‘Umar berkata: “Wa Ana Zidtuha...”. Artinya: “Saya sendiri yang menambahkan kalimat “Wahdahu La Syarika Lah”. (HR Abu Dawud)


Dalam sebuah hadits shahih, Imam al-Bukhari meriwayatkan dari sahabat Rifa'ah ibn Rafi', bahwa ia (Rifa'ah ibn Rafi’) berkata: “Suatu hari kami shalat berjama'ah di belakang Rasulullah. Ketika beliau mengangkat kepala setelah ruku' beliau membaca: “Sami’allahu Liman Hamidah”, tiba-tiba salah seorang makmum berkata:
رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ

Setelah selesai shalat Rasulullah bertanya: “Siapakah tadi yang mengatakan kalimat-kalimat itu?". Orang yang yang dimaksud menjawab: “Saya Wahai Rasulullah...”. Lalu Rasulullah berkata:
رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِيْنَ مَلَكًا يَبْتَدِرُوْنَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلَ
“Aku melihat lebih dari tiga puluh Malaikat berlomba untuk menjadi yang pertama mencatatnya”.


al-Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam kitab Fath al-Bari, dalam menjelaskan hadits sahabat Rifa’ah ibn Rafi ini menuliskan sebagai berikut: “Hadits ini adalah dalil yang menunjukkan kepada beberapa perkara. Pertama; Menunjukan kebolehan menyusun dzikir yang tidak ma'tsur di dalam shalat selama tidak menyalahi yang ma'tsur. Dua; Boleh mengeraskan suara dzikir selama tidak mengganggu orang lain di dekatnya. Tiga; Bahwa orang yang bersin di dalam shalat diperbolehkan baginya mengucapkan “al-Hamdulillah” tanpa adanya hukum makruh” (Fath al-Bari, j. 2, h. 287).

Dengan demikian boleh hukumnya dan tidak ada masalah sama sekali di dalam bacaan shalawat menambahkan kata “Sayyidina”, baik dibaca di luar shalat maupun di dalam shalat. Karena tambahan kata “Sayyidina” ini adalah tambahan yang sesuai dengan dasar syari’at, dan sama sekali tidak bertentangan dengannya.

Asy-Syaikh al’Allamah Ibn Hajar al-Haitami dalam kitab al-Minhaj al-Qawim, halaman 160, menuliskan sebagai berikut:

وَلاَ بَأْسَ بِزِيَادَةِ سَيِّدِنَا قَبْلَ مُحَمَّدٍ، وَخَبَرُ"لاَ تُسَيِّدُوْنِي فِيْ الصَّلاَةِ" ضَعِيْفٌ بَلْ لاَ أَصْلَ لَهُ
“Dan tidak mengapa menambahkan kata “Sayyidina” sebelum Muhammad. Sedangkan hadits yang berbunyi “La Tusyyiduni Fi ash-Shalat” adalah hadits dha'if bahkan tidak memiliki dasar (hadits maudlu/palsu)”.


Di antara hal yang menunjukan bahwa hadits “La Tusayyiduni Fi ash-Shalat” sebagai hadits palsu (Maudlu’) adalah karena di dalam hadits ini terdapat kaedah kebahasaan yang salah (al-Lahn). Artinya, terdapat kalimat yang ditinjau dari gramatika bahasa Arab adalah sesuatu yang aneh dan asing. Yaitu pada kata “Tusayyiduni”. Di dalam bahasa Arab, dasar kata “Sayyid” adalah berasal dari kata “Saada, Yasuudu”, bukan “Saada, Yasiidu”. Dengan demikian bentuk fi’il Muta'addi (kata kerja yang membutuhkan kepada objek) dari “Saada, Yasuudu” ini adalah “Sawwada, Yusawwidu”, dan bukan “Sayyada, Yusayyidu”. Dengan demikian, -seandainya hadits di atas benar adanya-, maka bukan dengan kata “La Tasayyiduni”, tapi harus dengan kata “La Tusawwiduni”. Inilah yang dimaksud dengan al-Lahn. Sudah barang tentu Rasulullah tidak akan pernah mengucapkan al-Lahn semacam ini, karena beliau adalah seorang Arab yang sangat fasih (Afshah al-‘Arab).

Bahkan dalam pendapat sebagian ulama, mengucapkan kata “Sayyidina” di depan nama Rasulullah, baik di dalam shalat maupun di luar shalat lebih utama dari pada tidak memakainya. Karena tambahan kata tersebut termasuk penghormatan dan adab terhadap Rasulullah. Dan pendapat ini dinilai sebagai pendapat mu’tamad.

Asy-Syaikh al-‘Allamah al-Bajuri dalam kitab Hasyiah al-Bajuri, menuliskan sebagai berikut:
الأوْلَى ذِكْرُ السِّيَادَةِ لأَنّ الأفْضَلَ سُلُوْكُ الأدَبِ، خِلاَفًا لِمَنْ قَالَ الأوْلَى تَرْكُ السّيَادَةِ إقْتِصَارًا عَلَى الوَارِدِ، وَالمُعْتَمَدُ الأوَّلُ، وَحَدِيْثُ لاَ تُسَوِّدُوْنِي فِي صَلاتِكُمْ بِالوَاوِ لاَ بِاليَاءِ بَاطِلٌ
“Yang lebih utama adalah mengucapkan kata “Sayyid”, karena yang lebih afdlal adalah menjalankan adab. Hal ini berbeda dengan pendapat orang yang mengatakan bahwa lebih utama meninggalkan kata “Sayyid” dengan alasan mencukupkan di atas yang warid saja. Dan pendapat mu’tamad adalah pendapat yang pertama. Adapun hadits “La Tusawwiduni Fi Shalatikum”, yang seharusnya dengan “waw” (Tusawwiduni) bukan dengan “ya” (Tusayyiduni) adalah hadits yang batil” (Hasyiah al-Bajuri, j. 1, h. 156).  



Allah humma Solli Wa sollim 'ala Sayyidina Muhammad, Wa 'ala ali Sayyidina Muhammad.


*

*

*




Link pilihan:

Imam Mekah sebut Sayyidina -> https://www.facebook.com/mohd.hanif.779/videos/10205245774497972/


Sebut Sayyidina bukan bida'ah sesat -> https://www.facebook.com/note.php?note_id=112872728729645


*

Hukum Sambutan Maulidur Rasul

*

Imam Abu Syamah berkata: Suatu hal yang baik ialah apa yang dibuat pada tiap-tiap tahun bersetuju dengan hari maulid Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wasallam memberi sedekah, membuat kebajikan, maka hal itu selain berbuat baik bagi fakir miskin, juga mengingatkan kita untuk mengasihi junjungan kita Nabi Muhammad sallaLlahu ‘alaihi wasallam membesarkan beliau, dan syukur kepada Tuhan atas kurniaanNya, yang telah mengirim seorang Rasul yang dirasulkan untuk kebahagiaan seluruh makhluk. (I’anatut Tholibin, juzu’ III, halaman 364) – Imam Abu Syamah adalah seorang ulamak besar Mazhab Syafie dan merupakan guru kepada Imam An Nawawi.

Imam Jalaluddin al Suyuthi dalam bukunya ‘Husnul Maqshid fi Amalil Maulid’ memberikan penjelasan tentang sambutan Maulid Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam: Menurutku, bahawa hukum dasar kegiatan maulid yang berupa berkumpulnya orang-orang yang banyak, membaca beberapa ayat-ayat al Quran, menyampaikan khabar-khabar yang diriwayatkan tentang awal perjalanan hidup Nabi sallaLlahu ‘alaihi wasallam dan tanda-tanda kebesaran yang terjadi pada waktu kelahiran Baginda, kemudian dihidangkan makanan untuk mereka dan mereka pun makan bersama, lalu mereka pun berangkat pulang, tanpa ada tambahan kegiatan lain. Adalah termasuk bid’ah hasanah dan diberikan pahala bagi orang yang melakukannya. Imam para hafizh Abu Fadhl Ibnu Hajar telah menjelaskan dasar hukumnya sunnah.

Wallahu 'alam.



Sumber:

http://jomfaham.blogspot.com/2010/02/mengapa-menyambut-maulidur-rasul.html

https://www.facebook.com/syaroni.assamfury/posts/678019522248960


*

Sadaqallahul 'azim

*
Maha Benar Allah, yang Maha Agung

Al-Imam Al-Qurthubi menuliskan dalam kitab tafsir, Al-Jami’ li Ahkamil Quran bahwa Al-Imam At-Tirmizy mengatakan tentang adab membaca Al-Quran. Salah satunya adalah pada saat selesai membaca Al-Quran, dianjurkan untuk mengucapkan lafaz shadaqallahul a’dzhim atau lafadz lainnya yang semakna.

Syaikh Athiyah Saqr, Mufti Mesir, ketika ditanya apa hukum membaca Shadaqallahul ‘Azhim. Beliau berkata: “Kalimat Shadaqallahu Al ‘Azhim yang diucapkan oleh pembaca Al Quran atau oleh pendengar setelah selesai membaca atau mendengar ayat-ayat Al Quran, bukanlah bid’ah tercela, bahkan  memiliki landasan yang cukup kuat. Iaitu:
1. Tidak ada satu pun dalil yang melarangnya.
2. Kalimat itu merupakan zikir.
3. Para ulama menjadikannya sebagai salah satu adab ketika selesai membaca Al Quran. Bahkan menurut mereka jika ia diucapkan dalam solat, tidak membatalkan solat. Demikianlah pendapat kalangan mazhab Hanafi dan Syafi’e.
4. Lafal atau ucapan tersebut demikian dekat dengan apa yang diperintahkan dalam Alquran serta merupakan ucapan orang mukmin di saat akan perang. 

Wallahu 'alam.



Sumber:

http://www.fimadani.com/membaca-shadaqallahul-azhim-setelah-tilawah-al-quran/

https://islamicc.wordpress.com/tag/hukum-membaca-shadaqallahul-adzim/


*

Popular Posts