Dalam Mazhab Syafi'I, Imam Al-Syafi'I dalam kitabnya Al-Umm mengatakan, "Nikah mut'ah yang dilarang itu adalah semua nikah yang dibatasi dengan waktu, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, seperti ucapan seorang laki-laki kepada seorang perempuan, aku nikahi kamu selama satu hari, sepuluh hari atau satu bulan". Sementara itu Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Majmu' mengatakan, "Nikah mut'ah tidak diperbolehkan, kerana pernikahan itu pada dasarnya adalah suatu aqad yang bersifat mutlaq, maka tidak sah apabila dibatasi dengan waktu."
Hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitabnya Shahih Muslim menyatakan bahwa dari Sabrah bin Ma'bad Al-Juhani, dia berkata, "Kami bersama Rasulullah saw. Dalam suatu perjalanan haji. Pada suatu saat kami berjalan bersama saudara sepupu kami dan bertemu dengan seorang wanita. Jiwa muda kami mengagumi wanita tersebut, sementara dia mengagumi selimut (selendang) yang dipakai oleh saudaraku itu. Kemudian wanita tadi berkata, "Ada selimut seperti selimut.' Akhirnuya aku menikahinya dan tidur bersamanya satu malam. Keesokan harinya aku pergi ke Masjid Al-Haram, dan tiba-tiba aku melihat Nabi saw. sedang berpidato diantara pintu Ka'bah dan Hijr Ismail. Baginda bersabda, 'Wahai sekalian manusia, aku pernah mengizinkan kepada kalian untuk melakukan nikah mut'ah. Maka sekarang yang memiliki isteri dengan cara nikah mut'ah, hendaklah dia menceraikannya, dan segala sesuatu yang telah kalian berikan kepadanya janganlah kalian ambil lagi. Kerana Allah Azza wa Jalla telah mengharamkan nikah mut'ah sampai hari Qiamat." (Shahih Muslim II/1024).
Dalil hadits lainnya : Dari Ali bin Abi Thalib r.a. ia berkata kepada Ibnu Abbas r.a. bahwa Nabi saw. melarang nikah mut'ah dan memakan daging keledai jinak pada waktu Perang Khaibar. (Fath Al-Bari)
*